Sejak meninggalnya Zaidir, Emak tak pernah lagi meninggalkan Bandung. Ia juga harus mengendalikan tekanan dan kadar gula darahnya. Emak mengidap hipertensi dan diabetes.

Ketika itu anak Emak yang tinggal di Bandung hanyalah Amalia dan Isnaniah. Suami Amalia, Effendi Halim, meninggal tahun 1996, dan Emak memintanya tinggal di rumah Mutu Manikam dua tahun kemudian. Selain itu, seorang pramurukti juga tinggal di rumah untuk merawat Emak. Anak-anak Emak bergantian datang menengok Emak di Bandung.

Anak-anak juga tetap melanjutkan tradisi keluarga berkumpul di Hari Raya. Jadi Emak selalu dapat bertemu dengan semua anak, menantu, dan cucunya paling tidak setahun sekali. Ketika itu keluarga Emak telah semakin besar. Dari sembilan anak yang masih hidup, Emak mendapatkan 16 cucu. Ditambah dengan tiga anak Erita, sesungguhnya ada 19 cucu Emak.

Emak pada usia 69 tahun, 1987.

Emak sebetulnya senang sekali melakukan perjalanan. Kebetulan anak-anak Emak tersebar di berbagai kota di Indonesia. Mulai dari Jakarta, Padang, Jambi, Palembang, Subang, Surabaya, Makassar, Yogyakarta, hingga Tembagapura. Setiap tahun ada saja tujuan perjalanan liburan Emak.

Perjalanan Emak keliling Indonesia.

Tempat favorit Emak untuk berlibur adalah perkebunan teh tempat Insyaf bekerja. Insyaf beberapa kali ditempatkan di perkebunan di sekitar Bandung: Rancabali, Sinumbra, Sukawana, dan Panglejar. Ia juga sempat lama menjadi administrator perkebunan teh Gunung Mas di Puncak. Sering Emak datang berkunjung ke tempat tinggal Insyaf dan Dewi, istrinya. Keluarga Emak juga beberapa kali berkumpul di Gunung Mas, yang rumah tinggal administrator dan wisma tamunya dirancang apik oleh arsitek Tan Tjing Ai. Rancangannya khas rumah tropis, dengan banyak pencahayaan dan penghawaan alami.

Isnaniah juga pernah tinggal di Subang, Jawa Barat, ketika suaminya, Yan Mulyana, ditempatkan sebagai kepala kantor pekerjaan umum di sana. Emak tentu saja tak mau melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke Subang yang jaraknya hanya 80 kilometer dari Bandung.

Jakarta adalah kota yang paling sering Emak datangi. Amalia tinggal di sana setelah menikah, disusul Srimurni yang bekerja dan menetap di Jakarta setelah menikah dengan Yubhar, dokter gigi dan dosen di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Rizal juga mulai menapaki karirnya di Jakarta pada awal 1980-an. Sebelumnya, Ridwan telah bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan di Jakarta. Enny, istri Ridwan, ditempatkan di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Harapan Kita setelah menyelesaikan Pendidikan spesialisasinya sebagai dokter mata. Kebetulan, rumah dinas RSIA Harapan Kita yang ditinggali keluarga Ridwan tidak berjauhan dengan tempat tinggal Amalia di Slipi. Sehingga, Emak bisa membagi waktu di antara rumah Amalia, Ridwan, dan Srimurni bila ia datang ke Jakarta.

Palembang jadi kota lain yang sering Emak datangi. Damayanti tinggal di sana selama 19 tahun. Ery, suaminya, bekerja di perusahaan pembangkit tenaga listrik. Damayanti pindah rumah empat kali selama di Palembang. Emak selalu mengusahakan datang membantu kepindahan rumah mereka. Ia pun selalu hadir dalam kelahiran ke dua anak Damayanti pada 1982 dan 1988. Ira, anak kedua Damayanti, lahir pada tanggal cantik 8 Agustus 1988 (8-8-88) jam 8 pagi. Saat itu Damayanti dilarikan ke kamar operasi untuk prosedur caesar karena kondisi darurat, meski diprotes sejumlah pemesan proses kelahiran pada tanggal dan jam yang dipercayai bertuah itu.

Emak di Supayang, ca 1996.

Padang juga kota favorit Emak. Ada tiga anak lelakinya pernah tinggal di Padang secara berurutan. Ichsan tinggal pada tahun 1985-1990, Fansuri 1995-1997, dan Insyaf sepanjang 1996-2001. Selama Ichsan tinggal di sana, Emak masih sehat dan setiap tahun pulang ke Padang. Ichsan mengingat jadwal rutin Emak bila ia berada di Sumatera Barat. Minggu pertama dihabiskan di Padang untuk mengunjungi keluarga Ayah di Seberang Padang dan teman-temannya. Kemudian, Ichsan dan Teti, istrinya, mengantar Emak ke Supayang. Selama seminggu di Supayang, Emak akan membereskan semua urusannya. Seringkali, ia harus menebus sawah warisan keluarga yang digadaikan saudara-saudaranya di kampung. Setelah seminggu, Ichsan akan menjemputnya.

Emak pernah pula mengunjungi Surabaya. Damayanti pindah ke sana tahun 1993, hampir bersamaan dengan Insyaf yang juga mendapat penugasan ke kota itu. Bila berkunjung ke Surabaya, Emak menyempatkan diri melihat tempat-tempat wisata di Jawa Timur.

Kota lain yang pernah Emak datangi adalah Makassar. Dua anak lelaki Emak pernah tinggal di sana. Rizal pada 1990-1992, dan Fansuri tahun 1997-2001. Fansuri mengelola perkebunan kopi dan guest house di Tana Toraja, sedangkan istrinya, Ita, dan dua anak perempuannya tinggal di Makassar. Anak kedua Fansuri, Valeria, lahir di Makassar pada tanggal cantik juga, 29 September 1999 (29-9-99) jam 9 pagi.

Emak dua kali datang ke Makassar ketika Rizal tinggal di sana. Ia sempat melawat ke Malino dan Tana Toraja selama kunjungan itu. Reni, istri Rizal, yang selalu menemaninya berwisata di Sulawesi Selatan mengingat keberanian Emak untuk melihat tempat-tempat yang sukar didatangi di Tana Toraja. Emak juga punya rasa ingin tahu yang sangat besar. Ia senang mempelajari sejarah tempat-tempat yang dikunjunginya. Seringkali, ia menggambar sketsa dan menulis puisi mengenai perjalanannya.

Suami Erita, Hendro, bekerja di Tembagapura, Papua. Emak ingin sekali berkunjung ke sana, tetapi belum ada kesempatan karena kondisi kesehatannya tak memungkinkan melakukan perjalanan jauh.

Emak pun pernah berkunjung ke Monterado, Kalimantan Barat, ketika Insyaf bekerja di sana pada 1986. Saat itu Emak tak cuma berlibur, tetapi juga mengajar Waitankung, senam pernapasan dari Tiongkok, serta mengadakan kursus pemulasaraan jenazah secara Islam untuk pegawai perkebunan Monterado dan keluarganya.

Emak berlatih Waitankung, ca 1995.

Emak memang telah lama mempraktikkan Waitankung. Bersama-sama ibu-ibu pengajian Kompleks Gubernuran, ia telah beberapa kali menyelenggarakan kursus-kursus perawatan jenazah.

Emak menggagas Badan Kematian di Kompleks Gubernuran ketika ia melihat banyak keluarga bingung saat ada kematian. Di tengah kesedihan yang menimpa keluarga, mereka juga harus menyiapkan jenazah dan tempat penguburan. Pada mulanya, Emak selalu dihubungi bila ada kematian di kompleks itu. Bila yang meninggal perempuan, Emak akan menghubungi beberapa ibu untuk membantunya memandikan dan mengkafani jenazah. Untuk memperbanyak orang-orang yang dapat menyelenggarakan jenazah, Emak menggelar kursus pemulasaraan jenazah.

Kemudian, mereka merasa perlu membentuk organisasi pengurusan kematian. Setiap anggota membayar iuran bulanan, dan bila ada kematian dalam keluarganya, maka mereka akan tahu beres saja. Semua bakal diurus Badan Kematian ini sampai ke pemakaman.

Organisasi yang didirikan Emak itu masih ada dan aktif di Kompleks Gubernuran sampai sekarang.

Emak pada usia 80 tahun, 1998.

Setelah ulang tahunnya yang ke-80 pada 1998, Emak mulai sering bicara mengenai kematiannya. Anak-anak, terutama Ridwan, percaya Emak memiliki kemampuan supranatural.

Telah diceritakan sebelumnya mengenai keterampilan Emak bersilat, keberaniannya melawan para perampok di Tawangmangu, dan tidak mempannya sihir tidur para pencuri di Parak Gadang. Selain terampil bersilat, Emak memiliki kemampuan mengobati dengan obat-obat tradisional. Keduanya dipelajarinya dari warisan keluarga Rumah Gadang suku Malayu di Supayang.

Ketika berada di Tanah Suci, Ridwan diajari Emak beberapa jurus silat untuk menghindari desakan orang yang sedang tawaf dan melempar jumrah. Ia juga pernah dibekali Emak dengan doa penolak bala dari ayat-ayat Alqu’an. Ajaran dari Emak itu jadi bekal Ridwan saat bertugas sebagai dokter dalam misi kemanusiaan pemerintah Indonesia di Ethiopia dan Somalia, yang ketika itu sedang perang saudara.

Insyaf pun selalu meminta doa dari Emak ketika hendak ujian. Ia merasa segalanya menjadi mudah setelah didoakan Emak. Ada pula satu kejadian yang dialami Insyaf ketika ia bertugas di Sukawana. Ia sudah tiga kali kecurian di rumah dinasnya, sehingga barang-barang berharganya hampir habis. Namun, pencuri tak pernah dapat ditangkap. Satu waktu Emak datang berkunjung. Setelah mendengar cerita Insyaf, ia membaca doa di rumah itu. Keesokan harinya pencuri itu tertangkap, karena ia hanya berputar-putar di dalam rumah seperti orang linglung.

Namun, tidak semua anak mempercayai atau pernah diberi bekal oleh Emak. Rizal, misalnya, tidak pernah mengingat Emak membekalinya dengan wirid atau doa-doa tertentu. Mungkin perlu diingatkan kembali, Emak memperlakukan setiap anak secara khusus. Anak-anak diberikan bekal sesuai dengan kemampuan dan situasi yang dihadapinya.

Hari Raya 1999 di rumah Isnaniah.

Pada awal tahun 2000, Emak mulai kehilangan pengelihatannya akibat diabetes. Emak sangat frustrasi karena tak lagi bisa membaca Alquran. Setiap hari ia meminta Amalia membacakan Alquran lantas Emak melafalkannya.

Minggu pertama Agustus 2000, Emak kehilangan selera makannya. Tak ada makanan yang mau ditelannya. Tubuhnya pun lemah karena kekurangan asupan. Isnaniah segera membawanya ke rumah sakit Advent di Jalan Cihampelas pada 10 Agustus 2000. Di sana Emak diinfus dan diamati. Seminggu kemudian, Emak kehilangan kesadarannya dan masuk ruang perawatan intensif (ICU). Anak-anak dari luar kota segera berkumpul di Bandung.

Setelah lima hari, kondisi Emak semakin membaik dan mulai mengenali kembali anak-anaknya, walaupun masih sulit berkomunikasi. Dokter yang merawat mengizinkan Emak pindah ke kamar perawatan biasa pada 21 Agustus 2000. Anak-anak yang tinggal di luar kota pun pulang hari itu. Damayanti kembali ke Surabaya, Srimurni ke Jakarta, Rizal ke Yogyakarta, dan Ichsan ke Bogor. Fansuri yang paling jauh karena ia tinggal di Makassar. Insyaf ketika itu bertugas di Jambi, namun masih tinggal di Bandung karena ada pertemuan di Hotel Homann.

Pagi berikutnya, Emak menghembuskan napas terakhir. Saat itu ia hanya didampingi Amalia dan Popon, pramurukti yang telah merawat Emak selama empat tahun. Isnaniah yang sebelumnya menunggui Emak di rumah sakit bergantian dengan Amalia, tengah pergi ke kampus selepas seminggu absen bekerja.

Amalia segera menelepon Insyaf dan Isnaniah, tetapi mereka tak dapat dihubungi. Ia kemudian menelepon Rizal di Yogyakarta. Akhirnya, Rizal yang memberitahu saudara-saudara lain soal kepergian Emak melalui hubungan telepon antarkota. Kabar mengenai wafatnya Emak diterima semua anaknya siang itu juga. Mereka bergegas pulang kembali ke Bandung. Tidak semuanya dapat pulang hari itu, beberapa baru bisa datang keesokan paginya.

Pemakaman Emak, 23 Agustus 2000.

Sebelum wafat, Emak berpesan agar ia dikuburkan di sebelah makam Ayah. Namun, ketika itu Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sirnaraga, lokasi kuburan Ayah, sangat padat. Tidak tersedia lahan kosong di sebelah kiri dan kanan makam Ayah. Anak-anak keberatan kalau makam mereka harus ditumpuk.

Kebetulan di hari Emak meninggal, Insyaf baru saja melunasi sebidang tanah di Soreang, Bandung Selatan, yang memang diperuntukkan bagi pemakaman keluarga. Keputusan cepat diambil. Emak akan dimakamkan di Soreang, kemudian jenazah Ayah akan dipindahkan ke sana. Sehingga, pesan terakhir Emak tetap dapat dijalankan.

Makam Emak, Ayah dan Zaidir di pemakaman keluarga di Soreang, Bandung Selatan.

Emak dimakamkan di pemakaman keluarga di Soreang pada 23 Agustus 2000. Makamnya jadi yang pertama di tempat itu. Makam Ayah dan Zaidir dipindahkan beberapa tahun kemudian, berdampingan dengan tempat peristirahatan terakhir Emak.

Cerita Emak ini adalah cerita perempuan biasa, pelaku hal-hal yang mungkin tampak biasa pula. Situasi yang dihadapi Emak dihadapi banyak perempuan dan keluarga di Indonesia. Ratusan ribu keluarga pegawai negeri sipil dan tentara harus mampu mengelola keuangan dari penghasilan yang sangat terbatas. Mereka juga harus memikirkan pendidikan dan kesehatan keluarga, ketika keduanya tak dapat disediakan secara cuma-cuma oleh negara.

Tidak semua keluarga memiliki jaring pengaman seperti Emak. Ia punya aset fisik berupa pusako tinggi suku Malayu, sawah, dan kebun di Supayang, aset sosial jaringan alumni MNS dan diaspora Minang di Bandung, serta aset pengetahuan berupa buku yang ditulis Ayah.

Dengan jaring pengaman ini, Ayah dapat mempertahankan integritasnya sebagai pegawai negeri dan tidak korupsi. Dalam hal ini, keluarga kami memang sungguh beruntung.

Dalam semua kesibukan menjalankan peran domestiknya, Emak tak pernah melupakan passion-nya akan pendidikan. Bentuknya tidak selalu pendidikan formal. Murid-murid yang pernah diajarnya mengaji, menangani jenazah, dan menyehatkan diri dengan waitankung bertebaran di seluruh negeri. Selain itu, lembaga yang ia bentuk berupa majelis pengajian dan badan kematian masih berjalan. Begitu pula masjid dan rumah sakit yang ia turut bangun masih memberi manfaat sampai sekarang di Bandung.

Warisan Emak tentu akan tetap tinggal pada anak dan cucunya. Bukan saja dalam bentuk DNA dan nama-nama kami dalam ranji suku Malayu, tetapi juga ajarannya tentang nilai-nilai kehidupan, adab, dan keyakinan agama. Ia adalah teladan bagi anak-anak dan cucu-cucunya.

Hari Raya 2015 di rumah Insyaf.

Anak dan cucu Emak meneruskan tradisi berkumpul di Bandung setiap tanggal 2 Syawal. Tradisi itu terus berlangsung tanpa putus sampai tahun ini, karena pandemi Covid-19 mencegah orang bepergian. Tahun ini silaturahmi dilakukan melalui aplikasi zoom.

Untuk menjaga silaturahmi Keluarga dan melanjutkan cita-cita Ayah dan Emak, anak dan cucu juga membentuk sebuah Perkumpulan. Perkumpulan sosial ini dipimpin para cucu Emak. Perkumpulan ini bertujuan membantu keluarga dari Supayang dan Seberang Padang yang membutuhkan bantuan Pendidikan. Ini sesuai dengan cita-cita Emak yang ingin melihat anak-anak, terutama anak-anak perempuan, mendapat kesempatan Pendidikan.

Emak akan selalu kami kenang sebagai seorang ibu dan perempuan yang luar biasa.

22 Agustus 2020 – tepat dua dekade setelah Emak berpulang.

Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 22 Agustus 2020