Bandung dirancang sebagai ibu kota Hindia Belanda. Rencana itu diusulkan H.F. Tillema, seorang ahli kesehatan lingkungan, pada tahun 1916. Bandung dianggap lebih sehat dari Batavia. Gagasan itu didukung Gubernur Jenderal JP van Limburg Stirum dan Rektor Bandoengsche Technische Hoogeschool (THS) Profesor J. Kloper. Jakarta yang sudah penuh sesak dan rentan penyakit rencananya ditinggalkan, meski dibiarkan menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Bandung akan menjadi Den Haag di Hindia, dan Jakarta dibiarkan menjadi Amsterdam.

Karsten Plan, Rencana Tata Ruang Kota Bandung 1933

Sebelum usul Tillema dikemukakan, sebetulnya Bandung telah jadi pusat pertahanan Hindia Belanda. Markas besar Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL) serta pabrik senjata dan mesiu, sekarang menjadi PT Pindad, telah dipindahkan ke Bandung sejak 1914. Departemen Perdagangan (Gouvernementsbedrijven) memindahkan kantornya ke bangunan baru, sekarang Gedung Sate, pada 1921. Begitu pula Jawatan Kereta Api serta Jawatan Pos, Telepon, dan Telegram (PTT). Kompleks Gedung Sate dirancang sebagai pusat pemerintahan. Di tempat itu akan dibangun pula Gedung Parlemen (Volksraad), Mahkamah Agung (Raad van Justitie) dan Kantor Gubernur Jendral (Algemene Secretarie).

Tahun 1933, Thomas Karsten diminta menyiapkan rencana tata kota Bandung. Karsten sudah berpengalaman membuat rencana tata kota Semarang dan Malang. Karsten merancang Bandung sebagai kota taman, dengan paru-paru kota di kedua sisi lembah sungai Cikapundung. Jalan-jalan dibuat lebar dan teduh. Karsten juga memperkenalkan zonasi kota berdasarkan fungsi, bukannya rasial seperti pemukiman kota umumnya pada saat itu. Gagasan Karsten yang terakhir ini, tentu saja, tidak populer di kalangan orang Eropa dan Belanda Totok. Tahun 1930-an Bandung adalah kota terbesar ketiga, namun kota dengan proporsi penduduk Eropa yang tertinggi di Hindia Belanda.

Gagasan Bandung menjadi ibu kota Hindia Belanda kemudian gagal dilaksanakan karena depresi ekonomi dunia pada tahun 1930-an.

Walaupun demikian, Bandung tetap kota yang nyaman untuk ditinggali ketika keluarga Emak pindah ke sana pada tahun 1950-an. Jalan Dago masih rindang dengan pohon damar yang tinggi dan lurus. Jalan Pasteur punya ciri khas pohon palem. Sementara itu, pohon mahoni ditanam di jalan Cipaganti, pohon kenari di Jalan Sumatra, dan pohon tanjung di Jalan Anggrek. Bandung baru saja bersolek untuk Konferensi Asia Afrika pada 18-24 April 1955.

Villa Isola di Bandung (Sumber: Bandung Tempo Doeloe, 2015)

Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) tempat Ayah kuliah berada di Villa Isola yang terletak di kilometer 8 di jalan raya antara Bandung dan Lembang. Bangunan art deco itu dirancang arsitek terkenal CP Wolff Schoemaker, yang juga mendesain Hotel Preanger di Jalan Asia Afrika. Villa dibuat untuk jutawan flamboyan DW Berretty, pemilik Kantor Berita ANETA di Batavia. Karya monumental itu dibangun hanya dalam waktu 5 bulan, mulai Oktober 1932 sampai dengan Maret 1933. Berretty tak lama menikmati Villa Isola. Ia meninggal dalam kecelakaan pesawat di Suriah dalam perjalanan pulang dari Amsterdam ke Batavia pada 23 Desember 1934. Hasil investigasi tentara Inggris, penguasa Suriah dan Irak ketika itu, mengenai kecelakaan pesawat KLM itu tak pernah diumumkan kepada publik. Kematian Berretty cukup misterius, sehingga mengundang banyak teori konspirasi pada zamannya.

PTPG dipimpin oleh seorang Dekan yang membawahi beberapa jurusan dan balai. Pada saat didirikan pada 1954, PTPG memiliki 7 jurusan: Ilmu Pendidikan, Ilmu Pendidikan Jasmani, Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, Bahasa dan Kesusastraan Inggris, Sejarah Budaya, Pasti Alam, Ekonomi, dan Hukum Negara. Selain itu, ada satu Balai Penelitian Pendidikan ditambahkan. Kebanyakan mahasiswa pertamanya adalah guru-guru sekolah menengah dari seluruh Indonesia.

Ayah mengambil kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Kesusteraan Indonesia. Selain itu, ia juga mengajar di SMA Negeri 2 Bandung di Jalan Belitung. Jarak antara Villa Isola dan Jalan Belitung kurang lebih 9 kilometer. Mencari rumah tinggal bagi keluarga Emak yang jumlah anggotanya telah menjadi 9 orang adalah satu tantangan sendiri.

Hotel Orient, sekarang menjadi Bank (Sumber: Google)

Ketika tiba dari Padang, keluarga Emak tinggal di Hotel Orient di Jalan Asia Afrika. Hanya dua bulan di sana, kemudian pindah ke Jalan Cipaganti 37. Di sana pun tak lama. Sebab, di kedua tempat itu, mereka mendapatkan 3 kamar dan makan tiga kali sehari (full board), namun makanannya tidak cocok dengan lidah keluarga Emak. Maka pada awal tahun 1957, keluarga ini pindah lagi ke Hotel Catalina di dekat kampus Ayah di Jalan Raya Lembang (sekarang Jalan Setiabudi).

Anak-anak Emak di halaman Hotel Orient, ca 1956

Sementara itu, Mak Gaek telah pulang ke Solok membawa Damayanti dan Srimurni setelah keluarga pindah dari Hotel Orient. Dalih Mak Gaek adalah ingin ditemani pulang, tapi mungkin alasan utamanya sebetulnya membantu mengurangi beban Emak mengurus 7 anak.

Empat anak Emak di Studio Foto Jalan Merdeka, Bandung. Rizal masih berumur setahun. 1956

Di Hotel Catalina, keluarga Emak mendapatkan sebuah villa tersendiri. Ia juga berhasil bernegosiasi dengan pihak hotel untuk menyerahkan uang makan kepada Emak. Dengan begitu, Emak dapat memasak sendiri, sesuai dengan selera anak-anak yang masih kental lidah padangnya.

Selama tinggal di Hotel Catalina, Emak hamil lagi anak kesembilannya. Ichsan lahir pada malam hari di Hotel Catalina pada 6 September 1957. Ridwan harus menjemput bidan yang tinggal kurang lebih satu kilometer dari hotel, melalui gelap malam yang berkabut.

Mak Gaek, bersama Damayanti dan Srimurni, datang kembali ke Bandung menjelang kelahiran Ichsan. Sebetulnya kedua anak Emak itu telah bersekolah di Solok. Namun ketika Mak Gaek pulang kembali pada akhir tahun 1957, hanya Srimurni yang ikut kembali. Damayanti tinggal di Bandung dan bersekolah di Sekolah Rakyat GIKI di Jalan Karangsari.

Srimurni dan Damayanti bersama Tek Nunun dan Mak Gaek. Foto ini mungkin diambil di Solok pada tahun 1957.

Sementara itu, Amalia dan Ridwan jadi murid SMP Negeri 2 di jalan Sumatra, dan Insyaf bersekolah di Sekolah Rakyat Banjarsari di Jalan Merdeka. Kedua tempat itu terletak dekat tempat Ayah mengajar di jalan Belitung.

Pada tahun 1958, keluarga Emak pindah lagi dari Hotel Catalina ke Jalan Cipaganti 19 dan kemudian ke Jalan Purnawarman. Kedua tempat itu adalah losmen atau pension yang menyediakan full board bagi pegawai negeri yang tidak memiliki rumah. Tahun-tahun itu, sebagian besar hotel di Bandung dipenuhi oleh pegawai negeri sipil dan militer yang tidak memiliki rumah dinas. Industri perhotelan di Bandung pada tahun 1950-an hidup dari subsidi negara, walaupun pembayarannya mungkin kadang-kadang tersendat atau dikorupsi.

Hotel Soeti, ca 1970 (Sumber: Hotel Santika)

Pada tahun 1959, keluarga Emak pindah lagi ke Hotel Soeti di Jalan Sumatra. Lokasi hotel itu dekat dari sekolah anak-anak di Jalan Merdeka dan Jalan Sumatra. Pemilik hotel itu, Ibu Soeti dan Pak Projo, sangat baik kepada keluarga Emak. Selain menyediakan makanan yang cukup bergizi dan cocok dengan lidah anak-anak, mereka juga memperlakukan anak-anak Emak sebagai keluarga. Emak tidak memasak sendiri selama di Hotel Soeti, yang sekarang menjadi Hotel Santika di Bandung.

Dalam periode ini, Emak mulai membaca syair-syair tasawuf karya Hamzah Fansuri. Maka anak kesepuluh Ayah dan Emak, yang lahir di Hotel Soeti pada 22 Februari 1960, diberi nama Mochamad Fansuri.

Tiga anak Emak di halaman Hotel Soeti: Isnaniah, Damayanti dan Insyaf.

Ayah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1959, dan sesuai dengan rencana awal, keluarga Emak akan kembali ke Padang setelah ayah selesai sekolah. Tapi, Sumatra Barat sedang dalam keadaan perang saudara.

Seperti telah ditulis sebelumnya, Partai Masyumi dan Bung Hatta adalah perekat antara orang Sumatra Barat dengan Pemerintah Pusat di Jakarta. Dalam Pemilu 1955, walaupun Masyumi menang telak di Sumatera Tengah, mereka hanyalah partai pemenang kedua pada tingkat nasional dengan 112 kursi DPR, di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 119 kursi. Ali Sastroamijoyo dari PNI kemudian menjadi Perdana Menteri. Pada tanggal 1 Desember 1956, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden karena perbedaan pandangan politik dengan Sukarno.

Sementara itu keresahan di luar Jawa terkait pembagian devisa, rasionalisasi tentara, dan soal-soal lainnya tetap berlanjut dan tidak menemukan penyelesaian. Pada 20-25 November 1956 dilaksanakan reuni Divisi Banteng yang baru saja terkena rasionalisasi. Reuni yang dihadiri oleh tentara aktif, purnawirawan, dan orang-orang sipil itu menyepakati pembentukan Dewan Banteng. Dewan Banteng dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein, mantan Komandan Divisi Banteng yang telah terdegradasi menjadi Resimen Infanteri 4 di bawah Teritorium Tentara (TT) I di Medan.

Kolonel Ahmad Husein di muka Rapat Umum di Padang, 1958 (Sumber: Time-Life)

Daerah-daerah lain juga membentuk Dewan-dewan serupa: Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, Dewan Garuda di Sumatra Selatan dikepalai Letnan Kolonel Barlian, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara dipimpin Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Pada 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein mengambil alih kekuasaan di Sumatera Tengah dari Gubernur Roeslan Muljohardjo. Dalihnya, Roeslan yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat gagal membangun daerah Sumatra Tengah. Perebutan kekuasaan ini tidak mendapatkan sanksi tegas dari Pemerintah Pusat. Husein secara de facto menjadi Gubernur Militer Sumatra Tengah.

Untuk menyelesaikan permasalahan daerah, Pemerintah Pusat mengadakan Musyawarah Nasional pada bulan September 1957, dilanjutkan dengan Musyawarah Pembangunan Nasional pada Nopember 1957. Akan tetapi, kedua musyawarah itu gagal menemukan titik temu antara aspirasi daerah dan Pemerintah Pusat.

Puncaknya, pada 10 Februari 1958 Dewan Banteng memberikan ultimatum menuntut Perdana Menteri Juanda menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Sukarno dalam waktu 5 hari. Presiden juga diminta kembali pada kedudukan konstitusionalnya sebagai kepala negara. Ultimatum itu ditolak Pemerintah Pusat, bahkan Ahmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari TNI Angkatan Darat.

Pimpinan PRRI, 1958 (Sumber: Time-Life)

Tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Pemerintahan tersebut meminta Syafruddin Prawiranegara, pernah menjadi pejabat Presiden PDRI ketika Sukarno dan Hatta ditahan Belanda, untuk membentuk kabinet dan menjadi Perdana Menteri PRRI.

PRRI mendapat dukungan dari Sulawesi yang telah mendeklarasikan Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) di Makassar pada 2 Maret 1957. Markas Permesta kemudian pindah dari Makassar ke Manado di Sulawesi Utara ketika terjadi perpecahan antara pendukung Permesta di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Pemerintah Pusat menanggapi pemberontakan PRRI/Permesta itu dengan operasi militer di Sumatra dan Sulawesi. Dengan nama sandi 17 Agustus, operasi di Sumatra Tengah dipimpin oleh Kolonel Achmad Jani. Tentara Pemerintah Pusat mendarat di Padang pada 17 April 1958. Padang dapat direbut dalam waktu 24 jam, namun konflik bersenjata berlanjut di Sumatra Barat sampai Achmad Husein menyerah pada 1961.

Dalam situasi seperti itu, Ayah dan Emak memutuskan tetap tinggal di Bandung. Ayah kemudian mendapat pekerjaan di Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru (BKTPG), atau sering juga disebut Balai Pendidikan Guru (BPG) di Jalan Dr. Cipto. Ayah juga sempat menjadi dosen tidak tetap di almamaternya yang telah berubah menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pada tahun 1958.

Dibentuk Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1951, BPG didirikan untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia dengan mengembangkan dan menyediakan bahan kursus-kursus tertulis bagi guru sekolah. Kursus-kursus ini kemudian dijadikan dasar bagi ujian persamaan ijazah SGA, B-I dan B-II. Gagasan yang cukup maju pada jamannya, sebelum adanya universitas terbuka dan kursus-kursus dalam jaringan seperti sekarang.

Tugas Ayah beserta timnya adalah mengembangkan modul-modul kursus tertulis untuk guru-guru Bahasa Indonesia di seluruh negeri. Ada bagian lain dalam BPG yang mengembangkan kursus untuk ilmu-ilmu lainnya, termasuk ilmu hayat dan ilmu pengetahuan alam.

Pada 1960, anggaran pemerintah untuk biaya hotel bagi pegawai negeri dianggap terlalu banyak. Maka, pemerintah mulai membangun kompleks perumahan dengan biaya instansi masing-masing. Pemerintah Daerah Jawa Barat ketika itu bereksperimen dengan membangun perumahan bagi pegawai negeri dari berbagai instansi. Sebelas rumah pertama dibangun di Jalan Buah Batu, ketika itu berada di batas kota Selatan Kota Bandung. Pengundian dilakukan untuk mendapat sebelas rumah itu. Ayah mendapatkan rumah nomor tiga.

Kompleks perumahan itu diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat, Kolonel Mashudi, pada bulan Agustus 1960. Maka, kompleks perumahan itu disebut Kompleks Gubernuran.

Keluarga Emak pindah ke rumah tinggal yang baru, diantar Bu Soeti dan Pak Projo. Pak Projo menyediakan mobil sedan terbaiknya untuk Emak yang membawa bayi berumur enam bulan.

Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 25 Juli 2020