Padang pada tahun 1950-an adalah kota yang bergairah dan gelisah.
Setelah kemerdekaan, ibu kota Provinsi Sumatra Tengah yang mencakup Sumatra Barat, Jambi, dan Riau ada di Bukittinggi. Namun, Padang tetap menjadi pusat ekonomi dan pergerakan politik di Sumatra Barat.
Berakhirnya perang kemerdekaan membawa berkah bagi Padang. Permintaan dunia untuk komoditas ekspor seperti karet, kopra, dan kopi meningkat. Padang kembali sibuk dengan jati dirinya sebagai kota perdagangan.
Akan tetapi, perdamaian dengan Belanda dan kemudian pembubaran Republik Indonesia Serikat juga memantik bara dalam sekam. Ada beberapa soal yang jadi sumber kegelisahan orang-orang di luar Jawa. Antara lain, pembagian devisa ekspor yang dirasa tidak adil. Daerah penghasil devisa hanya mendapatkan sedikit bagian karena pengaturan dilakukan Pemerintah Pusat di Jakarta. Mekanisme yang ada ternyata menguntungkan daerah-daerah berpenduduk banyak, yaitu provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Orang Minangkabau juga merasa lebih cocok dengan sistem negara federal dalam Negara Republik Indonesia Serikat. Sebab, pola tata kelola itu sejalan dengan konsep kekuasaan Minangkabau. Sayangnya, konsep federasi mendapat nama buruk karena strategi pecah-belah pihak Belanda selama perang kemerdekaan.
Bagi orang Minangkabau, ada soal lain yang lebih dalam daripada masalah pembagian kue ekonomi dan kekuasaan: mereka merasa tidak dihargai. Setelah semua jerih payah dan pengorbanan menjaga Republik tetap berdiri melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), tak ada penghargaan sama sekali. Setidaknya, Sumatra Barat dijadikan Daerah Istimewa seperti Yogyakarta. Yang lebih menyakitkan bagi orang Minang yang harga dirinya kelewat tinggi, Pemerintah Pusat di Jakarta menunjuk seorang Jawa, Roeslan Muljohardjo, menjadi Gubernur Sumatra Tengah. Seakan-akan tak ada orang Minang yang pantas jadi Gubernur.
Untuk mengatasi protes itu, Perdana Menteri Mohammad Natsir harus datang ke Padang untuk meyakinkan elit politik Minangkabau agar menerima Roeslan. Natsir menyatakan orang Minang punya cukup banyak perwakilan di Pemerintahan Pusat. Selain Natsir, ada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dari 17 orang menteri dalam Kabinet Natsir, ada tiga orang Minang menduduki posisi penting: Abdoel Halim menjabat Menteri Keamanan Rakyat, Assaat sebagai Menteri Dalam Negeri, serta Bahder Djohan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Walaupun Roeslan orang Jawa, ia adalah seorang birokrat berpengalaman. Ia pernah menjadi Bupati dan Residen. Yang lebih penting bagi Natsir dan elit Minangkabau, ia berasal dari Partai Masyumi, partai yang didukung oleh elit politik Minangkabau. Partai ini kelak menang telak di Sumatra Tengah dalam Pemilihan Umum 1955. Tampaknya, Natsir berhasil meyakinkan para elit politik Minangkabau untuk menerima Roeslan. Ia menjadi Gubernur Sumatra Tengah sampai akhir tahun 1956.
Dalam semua ketegangan antara daerah dengan Pemerintah Pusat di Jakarta pada tahun 1950-an, hanya Partai Masyumi dan Wakil Presiden Muhammad Hatta yang jadi tali pengikat orang Sumatra Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika keduanya tidak lagi berada di pusat kekuasaan, ikatan itu menjadi longgar.
Pada awal kepindahan keluarga Emak ke Padang, mereka tinggal di rumah Mak Utiah di Seberang Padang. Ada tiga keluarga tinggal di sana, berbagi satu halaman yang sama. Keluarga yang lain, sepupu-sepupu Ayah, juga memiliki anak sebaya bocah-bocah Emak. Rumah keluarga Mak Utiah tidak memiliki kamar mandi, oleh karenanya anak-anak, dan orang tua juga, harus mandi, buang air dan mencuci di sungai Batang Arau. Ketika itu air sungai masih jernih walaupun digunakan sebagai kamar mandi umum oleh penduduk Seberang Padang.
Keluarga Emak tak lama di rumah Mak Utiah, ayah kemudian menyewa rumah di tepi jalan raya di dekat jembatan Seberang Padang. Ketika mereka tinggal di sana, seorang keluarga Ayah mengatakan ia memiliki rumah di Parak Gadang. Saat itu rumahnya sedang dikuasai oleh tentara. Bila Ayah bisa membuat anggota tentara itu pindah, maka keluarga Ayah boleh tinggal di sana tanpa membayar uang sewa.
Dengan kepandaian diplomasi Emak, dan bantuan teman-temannya di Yayasan Boedi Moelia, rumah itu dapat dikosongkan sehingga keluarga Emak kemudian tinggal di sana. Anak-anak mengingat rumah di Parak Gadang itu sebagai rumah besar berhalaman luas, dan memiliki kamar mandi sendiri.
Rumah di Parak Gadang itu jauh dari tetangga. Pada masa itu juga banyak pencuri professional yang beraksi. Pencuri professional ini biasanya membaca mantera untuk membuat tidur para penghuninya. Beberapa kali pencuri datang ke rumah, namun mantera mereka tak pernah mempan pada Emak. Biasanya Emak bangun dan menggertak mereka. “Mau mencuri di rumah saya?!” Pencuri itu biasanya lari ketakutan, dan buang air besar di halaman untuk membuang sial.
Sejak pindah ke Padang, Ayah menjadi guru Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Padang. Selain itu, Ayah juga mengajar di Sekolah Guru Atas (SGA) dan Sekolah Teknik Menengah (STM) Negeri Padang. Sementara itu, Emak aktif dalam kegiatan sosial melalui Yayasan Boedi Moelia yang didirikan salah seorang teman sekolahnya di MNS. Yayasan ini didirikan pada 1950 untuk menyantuni anak-anak korban perang melalui Panti Asuhan dan sekolah. Sampai sekarang, Yayasan Budi Mulia masih ada dan aktif di Padang.
Di Sumatra Barat, Padang Panjang merupakan pusat pendidikan, sedangkan Padang pusat gerakan kaum perempuan. Sejarah Padang dalam soal ini cukup panjang. Datuk Siri Maradjo, tokoh kaum muda yang sempat menjadi anggota Dewan Kota Padang, sering dianggap pelopor pendidikan kaum perempuan. Pada tahun 1909 ia mendirikan sekolah kejuruan tenun di Padang yang semua muridnya perempuan. Tiga tahun kemudian, sekolah serupa telah berkembang menjadi 12 unit.
Sebagai bagian upaya memajukan pendidikan kaum perempuan, Datuk Siri Maradjo juga mendirikan mingguan Soenting Melajoe pada 1912. Surat kabar ini ditujukan bagi kaum terpelajar Minangkabau dengan Pemimpin Redaksi Zoebaidah Ratna Djowita, anak Datuk Siri Maradjo. Zoebaidah kemudian digantikan Roehana Koeddoes, yang sebelumnya telah terkenal sebagai pendiri Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang dan penulis surat kabar Poetri Hindia. Poetri Hindia didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, perintis pers Indonesia, pada 1908.
Di Padang juga terdapat sejumlah perkumpulan perempuan seperti Vrouwenbond, Meisjesbond, dan Perserikatan Kaoem Iboe. Bersama-sama, mereka juga menerbitkan majalah bulanan bernama Asjrak.
Tokoh perempuan lain yang cukup terkenal sebelum kemerdekaan adalah Saadah Alim dari Seberang Padang. Tamatan Sekolah Raja (Kweekschool) Fort de Kock itu kemudian jadi guru HIS di Padang. Pada 1917, Saadah mendirikan majalah Soeara Perempuan yang menyuarakan isu kebebasan perempuan menentukan nasibnya sendiri. Ia juga pernah menjadi guru di MNS Padang Panjang pada tahun 1920-an. Tidak begitu jelas apakah Saadah masih menjadi guru ketika Emak sekolah di sana. Mungkin tidak, karena Emak tak pernah bercerita mengenainya.
Menurut Mestika Zed, Saadah aktif mengadakan rapat terbuka yang bukan saja dihadiri oleh kaum perempuan, melainkan juga para lelaki Kota Padang. Saadah juga menulis cerita pendek dan naskah drama. Salah satu naskah dramanya, berjudul Pembalasannya, diterbitkan Balai Pustaka pada 1940. Saadah kini mungkin tidak begitu dikenal karena sering menulis dengan nama samaran. Alasannya, demi melindungi karir suaminya, Alim Sutan Maradjo nan Gadang, seorang guru dan pegawai negeri. Alim pernah dimutasikan ke nagari yang terpencil karena aktivitas politik Saadah.
Dalam masa tiga tahun pertama tinggal di Padang, Emak melahirkan dua anak, keduanya perempuan. Srimurni lahir pada 6 November 1951, dan Isnaniah lahir 15 Juni 1953. Keluarga yang makin besar ini memerlukan kemampuan manajemen yang tinggi. Anak-anak yang lebih besar diberi tugas menjaga adik sepulang sekolah. Begitu pula mereka dibiasakan mandiri untuk mengurus kebutuhan pribadi, tidak tergantung pada Emak.
Setelah dua tahun tinggal di Parak Gadang, pemilik rumah meminta kembali rumah karena hendak digunakannya. Keluarga Emak untuk sementara tinggal di rumah Pak Etek, adik Ayah, di Alang Laweh. Namun rumah pak Etek terlalu sempit untuk dua keluarga dengan 9 anak. Tiga anak pak Etek, dan enam anak Ayah. Selain itu, anak-anak walaupun bersepupu sering bertengkar di antara mereka.
Mendengar kabar Emak sulit mendapatkan rumah tinggal, teman-temannya di Yayasan Boedi Moelia menawarkan pekerjaan menjadi pengasuh asrama putri milik yayasan. Penghuni asrama putri di Ranah itu adalah anak-anak korban perang yang jadi murid SMA dan SGA di Padang. Sampai sekarang pun asrama itu masih ada dan tetap menjalankan misinya memberikan akses pendidikan kepada anak-anak yatim piatu.
Tawaran itu tentu saja diterima dengan tangan terbuka. Bukan saja pekerjaan ini akan memberi tempat tinggal bagi keluarga Emak, ia juga dapat mempraktikkan ilmu pendidikan yang dipelajarinya di MNS.
Anak kedelapan Emak dan Ayah, Rizal, lahir di asrama putri itu pada 12 Desember 1955. Ketika anak ini lahir, Ayah sedang berada di persimpangan jalan karirnya.
Sebagai lulusan HIK, ijazah Ayah disetarakan dengan lulusan SGA. Untuk meniti karir lebih lanjut, ia harus mengambil kursus di Perguruan Tinggi. Kebetulan ketika itu ada program B-1, lulusannya setara dengan Sarjana Muda, di Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang baru dibuka di Bandung. PTPG adalah cikal bakal Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang kemudian berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ayah mendaftar dan diterima untuk kuliah sepanjang tiga tahun. Diskusi berlangsung cukup lama. Apakah keluarga akan tinggal di Padang, atau ikut pindah ke Bandung bersama Ayah selama tiga tahun?
Bila Emak dan anak-anak tetap tinggal di Padang, pertimbangannya tentu saja akan menghemat ongkos. Emak punya pekerjaan, sedangkan gaji Ayah serta tunjangan beras untuk pegawai negeri tetap dapat diambil di Padang. Namun, bagaimana dengan hidup Ayah di Bandung? Karena kondisi lambung Ayah, makanannya harus disiapkan secara khusus. Selain itu, Ayah juga penyandang asma yang mungkin akan lebih sering kumat ketika di Bandung. Siapa yang akan mengurus Ayah di sana? Sempat muncul pilihan ketiga, yakni Ayah pergi ke Bandung bersama anak sulungnya. Amalia saat itu berumur 14 tahun dan sedang jadi murid SMP Negeri 1 Padang. Ia dapat melanjutkan sekolah di Bandung sambil menjaga Ayah.
Entah bagaimana proses diskusi yang berlangsung antara Ayah dan Emak ketika itu. Pada akhirnya, diputuskan seluruh keluarga akan pindah ke Bandung untuk tiga tahun. Salah satu pertimbangannya, Ayah akan mendapatkan pekerjaan mengajar sebagai guru SMA selama ia kuliah di PTPG. Selain itu, sebagai pegawai negeri yang tugas belajar, tempat tinggal Ayah akan disediakan Negara. Maka, keputusannya adalah bedol desa ke Bandung!
Setelah kenaikan kelas dan Rizal sudah cukup umur untuk melakukan perjalanan jauh, maka seluruh anggota keluarga berangkat pada Juni 1956. Ayah, Emak dan tujuh anak, termasuk satu bayi dan satu balita, berangkat ke Bandung melalui Teluk Bayur dan Tanjung Priok. Mak Gaek turut mengantar sampai Bandung.
Tak pernah terbayangkan oleh Emak saat itu, kepergiannya kali ini adalah marantau Cino: pergi merantau selamanya dan tak kembali lagi.