Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Harapan rakyat membuncah akan jembatan emas menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Namun Jakarta pada bulan-bulan pertama kemerdekaan adalah daerah tak bertuan. Jepang telah menyerah dan diminta Tentara Sekutu, sang pemenang perang, untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Kita bisa bayangkan mereka tidak begitu bersemangat menjalankan tugas itu. Mungkin mereka telah lelah berperang dan ingin segera kembali ke negaranya.

Tentara Inggeris baru mendarat akhir September 1945., sedangkan Tentara Marinir Belanda mendarat pada 30 Desember 1945. Bersamaan dengan mereka tiba pula Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (Netherlandsch-Indische Civiele Administratie/NICA).

Tentara Marinir Belanda di Jakarta, 1946 (Sumber: KITLV)

Ben Anderson menyebut revolusi Indonesia sebagai Revolusi Pemuda. Para pemudalah yang telah memaksa Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan saat para pemimpin politik bangsa masih ragu. Mereka pulalah yang membujuk tentara Jepang untuk menyerahkan senjata, serta menjadi penggerak Badan Keamanan Rakyat yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban.

Laskar pemuda Jakarta, ca. 1945 (Sumber: KITLV)

Akan tetapi revolusi juga membawa korban. Masa awal revolusi dikenang oleh orang-orang Indo dan Belanda totok sebagai Masa Bersiap (Bersiap-tijd). Ketika itu sebagian besar dari mereka baru keluar dari kamp tahanan Jepang, lalu berhadapan dengan dunia yang baru. Beberapa diantara mereka harus menerima kenyataan bahwa asetnya, terutama rumah tinggal, yang dirampas tentara Jepang kini dimiliki para pemuda atau siapa saja dengan kekuatan untuk mengambil alih. Konflik kemudian terjadi antara kaum Republiken dengan mantan tuan-tuan kolonial yang ingin kembali berkuasa.

Konfrontasi tentara Belanda dengan pemuda Jakarta, ca. 1946 (Sumber KITLV)

Namun, tentu saja ada anasir kriminal yang memanfaatkan situasi revolusioner untuk kepentingan pribadi. Ini juga terjadi dalam revolusi di negara-negara lain.

Robert Cribb dalam bukunya Gangster and Revolutionaries menggambarkan keadaan Jakarta dalam masa bersiap itu sebagai “masa yang menakutkan ketika penjarahan, perampokan , penculikan dan pembunuhan merajalela. Orang-orang Eropa dan Indo-Belanda menghilang, bahkan dari tengah kota, dan kemudian ditemukan mati mengambang di kanal beberapa hari kemudian”. Sumber-sumber Belanda menyebutkan korban Masa Bersiap ini antara 7000 sampai 20,000 orang.

Dalam situasi kacau seperti itu, Ayah tidak aman untuk bepergian di Jakarta. Ia lebih aman berada di tengah-tengah para tetangga yang telah mengenal keluarga Emak. Rupanya wajah Ayah yang mirip Indo-Belanda ternyata tetap tidak membawa keberuntungan setelah kemerdekaan. Emaklah yang kemudian harus mengarungi wilayah-wilayah tak bertuan Jakarta untuk mendapatkan beras dan bahan makanan lainnya. Ketika itu, Emak harus menukarkan koleksi kain batiknya dengan beras. Ia harus berjalan dari Tanah Tinggi ke Pasar Jatinegara untuk mendapatkan beras.

Pada saat mendengar cerita Emak pada periode ini, kami baru mengetahui bahwa dia ternyata pandai bersilat. Ia menceritakan beberapa kali harus membela diri ketika ada kelompok-kelompok pemuda yang bermaksud merampoknya.

Keadaan tidak aman ini bukan saja menimpa keluarga Emak. Para pemimpin Republik yang baru pun merasa tidak aman di Jakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Perdana Menteri Sutan Syahrir tetap tinggal di Jakarta, tetapi tak lama kemudian ia pun menyusul ke Yogyakarta. Yogyakarta menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia, dan Jakarta sepenuhnya dikuasai oleh tentara Belanda.

Tiga serangkai pemimpin Republik Indonesia: Bung Hatta, Bung Karno dan Bung Syahrir, ca. 1946 (Sumber: Shutterstock)

Ayah adalah pegawai negeri Hindia Belanda, kemudian menjadi pegawai negeri di Kyooiku Sinkoo Linkai (Badan untuk Pemajukan Pendidikan) di Jakarta pada zaman Jepang. Setelah proklamasi maka otomatis ayah menjadi pegawai Kementerian Pengajaran yang dalam kabinet presidensial pertama dipimpin Menteri Ki Hajar Dewantara. Ia kemudian digantikan oleh Dr. TSG Mulia pada kabinet Syahrir yang pertama.

Ketika ibu kota pindah ke Yogyakarta, maka seluruh pegawai negeri Kementerian Pengajaran pindah pula ke Yogyakarta. Kecuali, mereka yang bergabung dengan NICA.

Ayah kemudian mengungsi ke Kota Solo (Surakarta). Pada mulanya keluarga Emak tinggal bersama rombongan pengungsi dari Jakarta di sebuah bangunan bekas pabrik di daerah Kepatihan. Tak lama di sana, mereka kemudian pindah ke Matesih di Kabupaten Karanganyar, 29 kilometer dari Kota Solo. Keluarga Emak pindah lagi ke Tawangmangu di lereng Gunung Lawu, 13 kilometer dari Matesih. Di Tawangmangu mereka tinggal di villa milik perusahaan Friesche Vlag di pinggir kali Samin. Pada pertengahan 1948 mereka pindah kembali ke Solo.

Keluarga Emak tinggal di rumah saudara Ayah yang menikah dengan orang Solo di daerah Coyudan, dekat Pasar Klewer. Keluarga tempat keluarga Emak menumpang adalah juragan batik.

Laskar Puteri Indonesia di Solo, ca 1947 (Sumber: Tirto.id, 30 Agustus 2019)

Ketika itu setelah Perjanjian Renville, Belanda mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra sebagai wilayah Republik Indonesia. TNI harus ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Penyelesaian perang kemerdekaan melalui pembentukan Republik Indonesia Serikat tampaknya telah di depan mata.

Namun pada 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi ke dua. Yogyakarta diduduki dalam bilangan jam. Presiden dan Wakil Presiden serta sebagian anggota kabinet ditangkap. Kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kota Solo diduduki tentara Belanda pada 22 Desember 1948. Masih terjadi pertempuran sporadis di pinggiran kota Solo. Puncaknya adalah serangan umum ke kota Solo oleh TNI selama 4 hari tanggal 7-10 Agustus 1949. Serangan ini dipimpin oleh komandan Wehrkreise (Daerah Pertempuran) II Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan dimotori oleh pasukan Tentara Pelajar (Brigade XVII).

Tentara Pelajar Brigade XVII, ca. 1949 (Sumber: Sindo, 28 Oktober 2017)

Serangan Umum selama 4 hari ini dalam sejarah Indonesia kalah pamornya dengan Serangan Umum 6 jam di Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Mungkin karena komandan Wehrkreise III Letkol Suharto kemudian menjadi Presiden selama 32 tahun, sedangkan Letkol Slamet Riyadi mati muda di usia 23 tahun pada sebuah pertempuran dengan RMS di Ambon setahun kemudian.

Baru setelah gencatan senjata menjelang Konferensi Meja Bundar dan tentara Belanda ditarik dari wilayah Republik Indonesia, Solo betul-betul aman dan damai.

Emak tengah hamil anak ke limanya ketika keluarga yang semakin besar ini kembali ke kota Solo. Anak keempat Emak, Nur Insyaf, lahir pada 15 Juli 1946 di Tawangmangu. Anak kelima lahir pada 10 Maret 1949 di Rumah Sakit Jebres, sekarang RSUD Moewardi, di Kota Solo. Anak ke lima ini diberi nama Damayanti, mewakili harapan akan segera terjadinya perdamaian.

Selama berada dalam pengungsian, ayah tidak mendapatkan gaji. Maka Emak harus berusaha mendapatkan penghasilan. Pada masa ini, Emak berjualan sabun. Sabun dibelinya di kota Solo, kemudian dijual kepada sesama pengungsi. Jual-beli pada masa itu bisa juga berarti barter antara sabun dengan beras atau minyak goreng.

Kenang-kenangan keluarga tentang masa pengungsian ini tidak melulu cerita kesulitan hidup. Banyak cerita kebaikan orang-orang yang baru dikenal di tempat pengungsian itu. Saat di Matesih, misalnya, Amalia dan Ridwan selalu mendapat susu segar dari seorang pemilik sapi perah. Ada pula kisah solidaritas sesama pengungsi yang berbagi makanan, walaupun serba sedikit. Amalia dan Ridwan yang sudah berumur 6 dan 5 tahun juga mulai belajar bahasa Jawa ketika mereka tinggal di Tawangmangu, karena hanya Pak Lurah yang dapat berbahasa Indonesia ketika itu.

Pada saat tinggal di Solo, keluarga ini sempat berwisata ke Taman Sriwedari dan Tirtonadi. Ayah dan Emak juga gemar menonton sandiwara. Emak kabarnya menggemari seorang pemain sandiwara di Solo yang bernama Sri Murni. Emak pun sangat mengagumi Gusti Noeroel dari Pura Mangkunegara yang selain cantik dan cerdas, juga antipoligami. Emak selalu menyimpan foto Gusti Noeroel yang kemudian menikah dengan seorang perwira kavaleri dan tinggal di Bandung.

Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, 27 Desember 1949 (Sumber: Dutch Colonial Archive/Wikipedia)

Pada tanggal 27 Desember 1949, Pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia setelah berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Jakarta.

Tapi, Emak meminta Ayah agar tidak kembali ke Jakarta, melainkan pulang ke Padang. Emak tampaknya melihat masa depan keluarganya berada di Padang. Ia memiliki jejaring alumni MNS yang kuat di Padang. Jaringan inilah yang kemudian banyak membantu keluarga Emak ketika memulai hidup baru di kota Padang. Selain itu, Emak juga memiliki jaring pengaman bila ekonomi keluarga memburuk. Masih ada sawah milik keluarga di Supayang.

Maka pada tahun 1950 keluarga Emak kembali ke Padang dengan kapal laut De Eerens. Perjalanan dari Tanjung Priok ke Teluk Bayur lamanya tiga hari tiga malam. Semua anak mabuk laut selama perjalanan itu.

Tulisan ini pernah dimuat di Facebook pada tanggal 11 Juli 2020