Perang dunia sudah berkecamuk di Eropa dan suasana Hindia Belanda penuh ketidakpastian. Pada bulan September 1940, utusan dagang Jepang datang ke Batavia untuk perundingan perdagangan. Jepang meminta pengiriman lebih dari sejuta liter bahan bakar minyak, sebagian besarnya adalah avtur untuk pesawat. Selain itu, mereka juga meminta pasokan bijih besi dari Hindia Belanda. Perundingan dagang berakhir tanpa kesepakatan karena Pemerintah Hindia Belanda menolak permintaan Jepang. Ketegangan semakin meningkat, dan suasana perang semakin terasa.
Seluruh sumber daya di Hindia Belanda disiapkan untuk perang. Tetap tak ada kapal penumpang dari Padang ke Batavia pada bulan Mei 1940. Emak akhirnya memutuskan pergi ke Batavia melalui jalan darat. Tahun 1940 jalan lintas Sumatra belum lagi terwujud. Bagaimana cara Emak mengarungi 1.600 kilometer jarak yang memisahkan Padang dan Batavia itu?
Emak tidak bercerita banyak mengenai perjalanan yang mestinya sangat berat dan penuh petualangan ini. Lebih lagi, Emak harus pergi ke Batavia bersama tiga orang tua: Mak Gaek, Mak Utiah, dan seorang nenek lainnya, kakak sepupu Mak Gaek. Empat perempuan ini harus berjalan dalam suasana penuh ketegangan menjelang pecah perang.
Tahun 1940, Padang dan Bengkulu telah tersambung melalui jalan darat. Ketika saya melalui lintasan ini dari Muko-muko di perbatasan Bengkulu ke Kota Padang tahun 1987, diperlukan waktu 12 jam untuk melintasi jarak 331 kilometer. Banyak bagian jalan yang buruk dan sempit sehingga hanya cukup untuk satu mobil otobus atau truk melintas bergantian. Masih ada jarak lebih dari 200 kilometer dari Muko-muko ke Kota Bengkulu. Kita bisa bayangkan 47 tahun sebelumnya, Emak membutuhkan waktu lebih lama untuk menempuh jarak 535 kilometer antara Padang dan Bengkulu ini.
Pada 1933 jalur kereta api Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen (ZS-SS) telah menghubungkan Panjang di Lampung ke Lubuklinggau di Sumatra Selatan melalui Tanjung Karang dan Prabumulih. Pembangunan jalan kereta di Sumatra dimulai tahun 1903. Jalur Panjang ke Tanjung Karang sepanjang 11 kilometer selesai tahun 1914. Rel dari Tanjung Karang ke Kertapati, stasiun akhir di kota Palembang, sejauh 317 kilometer selesai tahun 1927. Jalur Prabumulih – Muara Enim – Lubuklinggau sepanjang 215 kilometer selesai tahun 1933. Emak dapat membeli tiket kereta api dari Stasiun Lubuklinggau ke Stasiun Tanah Abang di Batavia, karena semua jalur ini dikelola oleh perusahaan kereta api (SS), termasuk penyeberangan laut dari Panjang ke Merak.
Satu-satunya masalah dalam perjalanan ini adalah lintasan dari Bengkulu ke Lubuklinggau. Pada tahun 1940 jalan raya telah ada, tetapi angkutan otobus tidak berjalan tiap hari.
Mereka ulang perjalanan Emak pada tahun 1940, ia mengawalinya dengan otobus dari Padang ke Bengkulu. Jarak 535 kilometer itu mungkin dilalui dalam waktu dua hari satu malam. Kemudian Emak, dan tiga nenek yang bersamanya, perlu beristirahat di Bengkulu sambil menunggu jadwal otobus ke Lubuklinggau. Barangkali mereka menunggu dua sampai tiga hari di sana. Dari Bengkulu ke Lubuklinggau hanya 137 kilometer, namun jalan berkelok-kelok dan naik dan turun melintasi Bukit Barisan, sehingga perlu waktu satu hari penuh. Kemungkinan besar Emak perlu beristirahat sehari lagi di Lubuklinggau sebelum melanjutkan perjalanan dengan kereta api.
Ada tiga segmen lintasan kereta api dan satu penyeberangan yang harus dilalui untuk tiba di Batavia. Lubuklinggau-Prabumulih 215 kilometer, disambung Prabumulih-Tanjung Karang-Panjang 391 kilometer. Kemudian, menyeberang Selat Sunda dari Panjang ke Merak yang jaraknya 105 kilometer. Perlu waktu semalam dalam kapal untuk mengarungi jarak ini. Dari Merak ke Stasiun Tanah Abang di Batavia jaraknya 125 kilometer, mungkin hanya 4 jam saja. Secara keseluruhan, diperlukan waktu paling tidak delapan sampai sepuluh hari perjalanan darat dari Padang ke Batavia.
Tidak begitu jelas kapan perjalanan ini dilakukan, namun Emak telah berada di Jakarta pada bulan Juli 1940 dan hamil anak pertamanya. Mak Gaek dan saudara sepupunya tampaknya telah pulang kembali ke Supayang, mungkin melalui jalur yang sama. Mak Utiah tetap tinggal di Jakarta selama beberapa tahun untuk menemani pengantin baru ini.
Ketika Emak tiba di Batavia, Ayah menyewa rumah di Tjidengweg, sekarang Jalan Cideng, di daerah Petojo. Pada saat itu gaji guru HIS cukup untuk hidup yang nyaman bagi pasangan muda ini. Catatan tahun 1928, gaji pertama lulusan HIK seperti Ayah adalah f. 125, hampir tiga kali gaji pertama lulusan Normaalschool seperti Emak. Anak pertama Emak, Amalia, lahir pada 19 Mei 1941. Tujuh belas bulan kemudian, 11 Oktober 1942, lahirlah anak kedua Ahmad Ridwan. Dua puluh bulan berselang anak ketiga, Sabartiana, lahir pada 29 Juni 1944.
Emak pernah bercerita bahwa pada awal berumah tangga ia sering menangis karena sebelumnya ia terbiasa menjadi anak manja. Oleh karena itu, ia berjanji tak akan memanjakan anak-anaknya agar mereka bisa mandiri di kemudian hari. Namun cerita Emak ini harus kita tapis dengan baik. Setiap anak mengetahui bahwa Emak bukanlah perempuan yang cengeng. Ia adalah seseorang yang keras kemauan dan juga serba terampil seperti Pak Gaek. Alasan ia menangis karena merasa berat melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak hampir tak masuk akal.
Tampaknya kita harus menggali lebih dalam proses kejiwaan Emak pada awal perkawinannya. Barangkali, kita harus mengambil jalan memutar.
Ketika mengetahui saya terlalu banyak membaca cerita silat Tiongkok (tjersil), Emak pernah menganjurkan agar saya membaca beberapa karya sastra yang lebih bermutu. Tapi pembaca jangan keliru menilai, Emak pun penggemar cerita silat Tiongkok. Hobby Emak membaca tjersil ini akan dituliskan di bagian lain. Salah satu buku yang Emak anjurkan adalah Manusia Bebas karangan Suwarsih Djojopuspito, terbitan Djambatan tahun 1975.
Manusia Bebas memiliki riwayat panjang. Buku ini pada mulanya ditulis dalam Bahasa Sunda dan dimaksudkan untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka. Namun, naskah itu ditolak karena dianggap terlalu politis. Pengarangnya, lulusan Europeesch Kweekschool di Surabaya, kemudian menuliskannya kembali dalam Bahasa Belanda. Atas bantuan E. Du Peron, buku tersebut kemudian diterbitkan di Belanda dengan judul Buiten Het Gareel pada 1940. Terjemahan harfiah judul itu adalah Keluar Jalur. Atas inisiatif Kedutaan Belanda, buku itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh pengarangnya dan diterbitkan Djambatan tahun 1975. Judulnya berubah atas kemauan pengarangnya, walaupun isinya tetap dipertahankan tanpa perubahan sama sekali.
Ketika membaca buku Manusia Bebas untuk pertama kalinya, saya protes kepada Emak karena Bahasa Indonesia buku itu agak janggal. Mungkin karena kesulitan menerjemahkan dari Bahasa Sunda ke Bahasa Belanda, dan kemudian ke Bahasa Indonesia. Plot ceritanya pun agak bertele-tele. Emak hanya tersenyum dan tidak mau berdebat. Ini di luar kebiasaan Emak. Kami biasanya mendiskusikan banyak hal di meja makan keluarga. Sudah biasa kami berdebat, apalagi mengenai masalah-masalah politik kontemporer. Saya selalu menemukan sudut pandang yang berbeda atas sikap politik Emak ketika itu. Baru setelah menuliskan bagian ini saya memahami alasan Emak meminta saya membaca buku itu.
Manusia Bebas mengikuti perjalanan hidup tokoh utamanya, Sulastri (Tri), dan suaminya, Sudarmo (Dar). Mereka berdua memiliki Pendidikan Belanda yang tinggi, tetapi memutuskan menjadi guru sekolah kaum nasionalis. Sekolah itu kemudian disebut oleh Pemerintah Kolonial sebagai sekolah liar. Sulastri sebagai penutur dalam buku ini menuliskan harapan-harapannya akan kehidupan keluarga, serta pendapatnya mengenai pendidikan dan kehidupan masyarakat kolonial. Sulastri juga mengungkapkan penilaiannya terhadap tokoh-tokoh politik ketika itu, termasuk Ir. Sukarno yang saat itu telah menikah dengan ibu Inggit dan tinggal di Bandung.
Novel ini menceritakan perjuangan Tri dan Dar yang harus berhadapan dengan kesulitan hidup, harapan yang tinggi dari keluarga besar keduanya, dan intrik-intrik para tokoh pergerakan yang ketika itu terpecah belah. Tri dan Dar harus berpindah-pindah kediaman dari Bandung ke Yogya, dari Yogya kemudian ke Jakarta dan Bogor, menumpang di rumah orang tua Tri. Dari Bogor ke Semarang, kemudian singgah di Yogya sebentar untuk melahirkan anak kedua, dan akhirnya berhenti di Bandung.
Pesan utama dalam novel itu adalah, bagaimana pun kerasnya tantangan hidup, manusia akan dapat bertahan (survive). Mungkin kita perlu melakukan beberapa kompromi dalam menyiasati situasi yang sulit, namun pada akhirnya kita dapat kembali ke cita-cita awal kita.
Itu tampaknya pesan yang ingin disampaikan Emak kepada anak-anaknya. Sebagai anak zamannya, Emak merengkuh kesempatan yang diberikan oleh kemajuan sebesar-besarnya. Sebagai murid Normaalschool di pusat pendidikan di Padang Panjang, Emak pasti terpapar gagasan tentang segala hal yang mungkin dan dapat dilakukan perempuan. Role model-nya tersedia di Padang Panjang. Rahmah El Yunusiah yang mendirikan Dinijah Poeteri masih aktif mengajar ketika Emak bersekolah di MNS. Rasuna Said yang pernah menjadi guru di Sekolah Dinijah Poeteri telah mendirikan majalah Raya di Fort de Kock. Majalah Raya ini terkenal radikal dan anti penjajahan. Rasuna Said kemudian pindah ke Medan dan mendirikan majalah mingguan Menara Poetri yang banyak dibaca oleh perempuan-perempuan muda di Sumatra.
Gagasan-gagasan baru ini tentu saja membuat harapan Emak akan perkawinan agak berbeda dengan kenyataan yang dia hadapi saat itu. Pada awalnya mungkin ini terasa berat, sehingga Emak harus melakukan kompromi. Baru kemudian setelah anak-anak dewasa, Emak dapat menyalurkan aspirasi politik dan aktivisme sosialnya dengan lebih bebas.
Tampaknya Ayah dan Emak telah bersepakat Emak dapat kembali mengajar di Batavia setelah perkawinan mereka. Komitmen Emak pada pendidikan anak-anak perempuan dan semangat Emak mengajar tentunya tak perlu berhenti karena berkeluarga. Namun empat tahun kemudian, dengan tiga anak di bawah usia lima tahun, kesempatan itu tak pernah bisa lagi dipergunakannya.
Selain itu, dunia juga sudah berubah dengan cepat. Jepang menyerang Hindia Belanda pada tanggal 7 Desember 1941 bersamaan dengan penyerbuan ke Pearl Harbour. 8 Maret 1942, Hindia Belanda menyerah kepada tentara Jepang di Kalijati.
Sebelum Tentara Jepang mendarat, Emak telah pindah rumah ke Tanah Tinggi di Senen. Keluarga baru ini memerlukan tempat yang lebih luas. Sementara itu, Mak Utiah kembali ke Padang. Dalam situasi genting menjelang perang, Mak Utiah memutuskan untuk pulang ke Padang sendirian melalui jalan darat. Mak Utiah mengatakan kepada Ayah dia tak mau mati di Jakarta. Kalau mati karena perang, ia lebih baik mati di rumahnya di Seberang Padang.
Dalam masa pendudukan Jepang, seperti juga kondisi ekonomi Indonesia, keadaan ekonomi keluarga Emak semakin memburuk. Kesehatan Ayah juga memburuk. Pada awal pendudukan Jepang, karena wajahnya seperti Indo Belanda, Ayah sering dipukuli oleh tentara Jepang tanpa alasan. Itu berpengaruh pada kesehatannya. Lambung Ayah terganggu sehingga mulai saat itu sampai akhir hayatnya, ia hanya dapat memakan nasi yang dihaluskan atau nasi tim. Maka saat hamil anak ketiga, Emak harus melakukan banyak hal sendirian, termasuk mengurus dua anak balita dan suami yang sakit.
Sabartiana lahir dengan normal, namun kondisi kesehatannya tidak sebaik kedua kakaknya. Pada usia delapanbelas bulan ia meninggal dunia. Ayah tak pernah memaafkan dirinya atas kepergian anaknya yang ketiga itu. Sampai akhir hayatnya, secara teratur Ayah selalu berziarah ke makam Sabartiana di pekuburan Kawi-kawi, Jakarta. Dalam soal ini, Emak tampaknya lebih kuat dari Ayah. Emak mampu melepaskan dirinya dari kesedihan yang berkepanjangan, karena ada dua anak lainnya yang memerlukan perhatian.
Sementara itu, Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan Batavia berganti nama menjadi Jakarta.