Dalam budaya Nusantara, termasuk di Minangkabau pada tahun 1939, pernikahan bukanlah urusan dua insan yang sedang jatuh cinta saja. Ini adalah masalah keluarga besar kedua belah pihak. Ketika Abdul Malik menyampaikan rencana pernikahan kepada keluarga besarnya, mereka meminta syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh keluarga Emak. Untuk memahami permintaan mereka, kita harus memahami tempat Kota Padang dalam konstelasi budaya Minangkabau.
Abdul Malik, yang kami panggil Ayah, berasal dari Kampung Goba di Seberang Padang. Padang, ibukota Provinsi Sumatra Westkust, terletak di muara Sungai Batang Arau. Kampung Ayah berada di selatan muara Batang Arau ke arah Pelabuhan Emmahaven yang sekarang disebut Teluk Bayur.
Karena ada beberapa murid HIK bernama Abdul Malik, Ayah dipanggil Abdul Malik Goba. Nama itu melekat sampai ia meninggal pada 5 Juni 1976.
Menurut Mestika Zed dalam bukunya Kota Padang Tempo Doeloe, Seberang Padang adalah asal muasal Kota Padang. Didirikan oleh perantau dari Solok-Selayo, mereka terdiri dari delapan Suku sehingga penduduk awal Padang disebut sebagai Suku nan Salapan. Baru kemudian pemukiman berkembang ke arah muara Sungai Batang Arau di wilayah Kota Padang sekarang.
Pantai Barat Sumatra, mulai dari Tiku hingga ke Indrapura di pesisir selatan merupakan Rantau Pasisia Minangkabau. Sejak abad ke-16 wilayah ini masuk ke dalam wilayah Kesultanan Aceh. Pada tahun 1631 VOC membuka kantor dagang di Pulau Cingkuak, di lepas pantai Painan. Mereka pindah ke Padang pada 1665, setelah berhasil mengusir tentara Aceh yang ditempatkan di sana. Padang kemudian menjadi pelabuhan bebas tempat pedagang Inggris, Portugis, Turki dan negara-negara lain pun berdagang. Padang pernah diduduki oleh petualang Perancis (corsaire) Francois-Thomas Le Meme pada 1793. Le Meme bermarkas di Pulau Mauritius di lepas pantai benua Afrika. Le Meme menduduki Padang atas nama Kaisar Napoleon yang sedang berperang dengan Belanda dan Inggris. Padang mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang pernah menjadi jajahan Perancis!
Pengaruh Aceh di wilayah Rantau Pasisia ini, termasuk di kawasan yang kemudian menjadi kota Padang, meninggalkan jejak pada adat istiadat yang ada di sana. Mereka masih mempertahankan adat matrilineal, akan tetapi banyak tatacara yang mengadopsi adat Aceh yang patrilineal. Di Pariaman, misalnya, ada beberapa gelar adat yang diturunkan dari ayah kepada anak laki-lakinya, bukan dari mamak ke kemenakan seperti umumnya dalam tradisi matrilineal. Salah satu adat perkawinan yang berlaku di Padang dan Pariaman adalah tradisi Bajapuik, secara harfiah artinya menjemput. Dalam tradisi ini pihak calon mempelai perempuan memberikan hadiah atau uang jemputan kepada keluarga calon mempelai laki-laki. Semakin tinggi jabatan atau gengsi keluarga lelaki, akan semakin besar pula uang jemputan diberikan.
Keluarga Ayah menganggap wajar bila keluarga Emak membayar uang jemputan yang tinggi karena ayah adalah lulusan sekolah Belanda, dan punya pekerjaan terhormat. Keluarga Emak menolak permintaan itu karena tak sesuai dengan kebiasaan di Nagari Supayang. Masalah ini sempat menjadi ganjalan rencana perkawinan Emak dengan Ayah. Akhirnya masalah ini dapat diselesaikan, atau lebih tepatnya keluarga Ayah mengalah karena Ayah tetap keras kepala untuk menikah dengan Emak. Sifat keras kepala, bertahan tanpa kompromi terhadap yang dianggap benar, merupakan karakter Ayah yang tampaknya menurun juga kepada sebagian anak-anaknya.
Tapi ada tentangan lain yang agak sulit diatasi.
Ayah adalah anak yatim yang ditinggalkan oleh bapaknya ketika berumur empat tahun. Bapak Ayah, Haji Abdul Karim, seorang pedagang yang memiliki banyak toko di Sumatra Barat. Kakek Abdul Karim, seperti kebiasaan pedagang kaya di Padang ketika itu, memiliki tiga isteri. Nenek Nuriyah, ibu Ayah yang kami panggil Mak Utiah, adalah isteri ketiganya. Ketika kakek Abdul Karim meninggal pada 1917, setiap isterinya mendapat warisan sebuah toko. Namun karena salah urus, toko warisan Mak Utiah bangkrut dan harus dijual untuk membayar hutang perusahaan.
Mak Utiah kemudian membesarkan tiga anak lelakinya dengan penghasilan dari menenun kain songket dan membuat selendang sulam yang disebut Kain Bajaik. Kain Bajaik biasa dipakai dalam acara perkawinan adat Minangkabau. Semakin rumit sulamannya semakin mahal harganya. Sulaman karya Mak Utiah ternyata banyak dicari oleh keluarga-keluarga kaya di Kota Padang.
Kakak sulung ayah meninggal dalam usia muda, sehingga harapan Mak Utiah ditumpahkan kepada Ayah dan adik lelakinya yang kami panggil Pak Etek. Mak Utiah adalah seorang perempuan yang buta huruf Latin. Ia hanya bisa mengaji dan membaca huruf Jawi, namun punya keinginan yang sangat kuat semua anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Mak Utiah kemudian meminta saudara sebapaknya untuk membantu. Saudara tiri Mak Utiah ini berasal dari Koto Gadang, dan menjadi kepala sekolah HIS di Fort de Kock (Bukittinggi).
Atas jaminan dari Kakek Koto Gadang ini, Ayah dapat masuk sekolah dasar dan sekolah menengah dengan pengantar Bahasa Belanda: Holandsch Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Pendidikan Ayah kemudian dilanjutkan ke Sekolah Guru Atas (Hollandsch Inlandsche Kweekschool/HIK) di Bandung. Anak-anak Kakek Koto Gadang bersekolah melalui jalur yang diperuntukkan bagi warga Eropa: Europeesch Lagere School (ELS) dan Hoogere Burgerschool (HBS), serta melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi di Negeri Belanda.
Ketika Ayah mengabarkan rencananya menikah, keluarga Kakek Koto Gadang tidak setuju karena menganggap Emak tidak sepadan untuk menjadi jodoh Ayah. Menurut mereka Ayah patut mendapatkan isteri berstatus sosial sama dengan mereka, orang Minangkabau yang sudah disamakan dengan Belanda. Emak dianggap terlalu kampungan untuk menjadi isteri Ayah. Pembaca jangan emosi dulu, please! Ini cerita di tahun 1939 ketika status sosial masih ditentukan kedekatan dengan, atau pengakuan oleh, orang Belanda. Zaman sekarang mungkin saja masih ada orang yang punya pikiran begitu. Jelas pendapat seperti itu kini akan kita sebut ketinggalan zaman!
Entah bagaimana Ayah meyakinkan Kakek Koto Gadang yang selama ini bertindak sebagai godfathernya. Mungkin dengan kekeraskepalaannya itu. Yang pasti pada bulan Januari 1940 rencana pernikahan sudah didukung oleh keluarga besar Ayah. Tanggal pun sudah dipastikan 20 April 1940. Emak mengajukan surat pengunduran diri sebagai guru di Solok karena akan pindah ke Batavia. Surat itu dikirimkan 15 Februari 1940 ketika rencana pernikahan telah tuntas disepakati.
Awal tahun 1940, perang dunia ke dua telah dimulai di Eropa. Jerman menduduki Polandia pada 1 September 1939. Perancis dan Inggris yang terikat perjanjian pertahanan dengan Polandia, menyatakan perang kepada Jerman, dan berusaha mengajak Belanda bergabung sebagai sekutu. Namun Pemerintah Kerajaan Belanda yakin Jerman tidak akan menyerang negaranya. Belanda tetap akan netral seperti dalam perang dunia pertama. Keyakinan ini membuat Belanda terlambat memobilisasi tentara dan memodernkan peralatan perangnya.
Situasi di Hindia Belanda pun diliputi keyakinan palsu bahwa Jepang tidak punya kepentingan untuk menyerang Asia Tenggara. Para perencana strategi perang Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (Koninklijke Netherlandsch-Indische Leger/KNIL) masih mengira ekspansi Jepang akan terpuaskan dengan menguasai Semenanjung Korea, Taiwan, Manchuria dan Tiongkok. Padahal pendudukan Hindia Belanda untuk menguasai sumber minyak yang sangat diperlukan mesin perang Jepang, telah ada dalam rencana sejak lama.
Barang-barang Jepang, terutama tekstil, mulai membanjiri Hindia Belanda sejak perang dunia pertama berlangsung di Eropa. Barang-barang Jepang ini sangat disukai karena harganya murah. Jepang membeli gula dan bahan bakar minyak dari Hindia Belanda. Sejak 1927, Hindia Belanda selalu mengalami defisit neraca perdagangan dengan Jepang. Toko-toko Jepang juga banyak dibuka di Jawa, terutama di Batavia, Semarang dan Surabaya. Bahkan ada perkebunan tebu milik Jepang di Jawa Timur. Toko-toko Jepang mengirimkan tenaga pemasarannya sampai jauh ke pelosok pedesaan. Para pedagang kelontong Jepang ini sebagian besar adalah perwira intelijen Tentara Jepang.
Pemerintah Kerajaan Belanda baru menyadari situasi kritis ini setelah Jerman menyerang Denmark dan Norwegia, yang menyatakan dirinya netral dalam perang dunia kedua, 9 April 1940. Denmark menyerah hanya dalam waktu enam jam, pertempuran tercepat selama perang dunia kedua. Norwegia bertahan lebih lama karena dibantu oleh tentara Inggris dan Perancis. Tentara Belanda mulai dimobilisasi, termasuk tentara di Hindia Belanda.
Kapal-kapal niaga yang memenuhi syarat dialihkan fungsinya sebagai kapal perang, atau kapal logistik tentara. Oleh karena itu, Ayah tidak dapat pulang ke Padang untuk menikah, karena tak ada kapal penumpang yang berlayar ke Padang pada April 1940. Padahal cuti Ayah sudah diambil dan pernikahan Emak telah diumumkan di Nagari Supayang. Surat pemberhentian Emak sebagai guru di Solok, dengan hormat dan atas permintaan sendiri, diterima pada 31 Maret 1940.
Keputusan harus diambil dengan cepat. Pernikahan tetap dilaksanakan sesuai dengan rencana. Ayah akan diwakili oleh keluarganya dari Padang. Kemudian Emak untuk sementara akan tinggal di Padang menunggu kapal yang akan membawanya ke Batavia.
Itulah yang kemudian terjadi, pernikahan Emak dilakukan secara in absentia, tanpa kehadiran Ayah. Pesta besar tetap dilakukan di Rumah Gadang Suku Malayu di Nagari Supayang. Beberapa hari kemudian Emak diantarkan oleh para Ninik Mamak ke Padang. Emak akan memulai hidup barunya. Hidup baru yang penuh harapan di Batavia. Tapi ini pun harus menunggu dulu.
10 Mei 1940 Jerman menyerang Belanda tanpa pernyataan perang terlebih dahulu. Negeri itu jatuh hanya dalam waktu empat hari. Tentara Kerajaan Belanda menyerah 15 Mei 1940, dan Ratu Wilhelmina melarikan diri ke Inggris bersama pemerintahan dalam pengasingan. Putri Juliana, pewaris tahta Kerajaan, dan keluarganya mengungsi ke Kanada.
Hindia Belanda seperti negeri yang kehilangan induk.