Pada 17 Oktober 1901, dalam pidato pertamanya di muka parlemen Belanda, Ratu Wilhelmina menyatakan Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral dan hutang budi terhadap kaum bumiputera di Hindia Belanda. Pidato itu dianggap awal kebijakan baru pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikenal sebagai Politik Balas Budi atau Politik Etis.

Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda (Sumber: Wikipedia)

Sebagai tindak lanjut dari pidato tersebut, dibuka sekolah-sekolah untuk pribumi di seluruh Hindia Belanda. Sistem pendidikan yang dikembangkan adalah sistim dua jalur. Pendidikan kelas satu (eerste klaas) dengan pengantar bahasa Belanda untuk penduduk Eropa (Europeesche Lagere School/ELS), Timur Asing (Hollandsch Chineesche School/HCS) dan bangsawan atau saudagar pribumi (Hollandsch Inlandsche School/HIS).

Pendidikan kelas satu lamanya tujuh tahun. Pendidikan kelas dua (tweede klaas), menggunakan bahasa daerah, terdiri dari dua bagian: Sekolah Desa (Volkschool) yang lamanya tiga tahun, dan sekolah peralihan (vervolgschool), didirikan mulai tahun 1914, dengan durasi dua tahun. Vervolgschool dibuat sebagai peralihan bagi lulusan Sekolah Desa yang hendak memasuki dunia kerja atau melanjutkan ke sekolah yang berbahasa Belanda dengan ujian persamaan. Pada tahun 1921 didirikan Schakelschool sekolah peralihan yang berbahasa Belanda bagi lulusan sekolah desa. Schakelschool lama pendidikannya 5 tahun, dan lulusannya disetarakan dengan lulusan HIS.

Karena pemerintah kolonial tidak punya cukup dana untuk membuka Sekolah Dasar di seluruh wilayah Hindia-Belanda, maka Sekolah Desa (Volkschool) harus diongkosi oleh masyarakat sendiri. Penjajah Belanda menggunakan alasan agung, yakni agar anak-anak desa tidak tercerabut dari akarnya dan masyarakat turut memiliki sarana pendidikan di desanya.

Masyarakat Minangkabau menyambut kebijakan baru ini dengan antusias. Surau-surau yang telah ada di setiap Nagari segera diubah menjadi Volkschool. Dana pendidikan (Educatiefonds) dibuat di banyak Nagari untuk membiayai Sekolah Desa, dan mengongkosi anak-anak Nagari yang pandai melanjutkan pendidikan ke tingkatan lebih tinggi. Salah satu educatiefonds yang terkenal adalah dana yang dikumpulkan oleh Nagari Pandam Gadang untuk mengongkosi sekolah Ibrahim gelar Sutan Malaka (Tan Malaka) ke Negeri Belanda pada tahun 1913.

Kendali masyarakat Nagari pada Sekolah Desa juga membuat pendidikan agama di surau tidak ditinggalkan. Pagi hari anak-anak belajar ilmu Belanda di sekolah, dan malamnya mereka belajar mengaji di surau. Bahkan mereka yang belajar di sekolah kelas satu pun masih tetap melanjutkan pendidikan agama di sore hari. Muhammad Natsir dalam biografinya menyebutkan bahwa pagi hari ia belajar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda di HIS, dan malamnya belajar bahasa Arab serta mengaji kitab di Madrasah Diniyah Solok.

Meisjes Normaal School Padang Panjang, 1930 (Sumber: KITLV)

Komunitas pembaharu Islam di Minangkabau memanfaatkan ruang yang terbuka ini untuk mendirikan pendidikan Islam dengan cara modern. Pada tahun 1916 berdiri Sekolah Diniyah, dan dua tahun kemudian Sumatra Thawalib, di Padang Panjang. Tahun 1923 berdiri Sekolah Diniyah Puteri di Padang Panjang. Selain itu, berdiri pula sekolah-sekolah swasta berbahasa pengantar bahasa Belanda (HIS particulier). Misalnya HIS Adabiyah, pada mulanya Madrasah Adabiyah, berdiri pada tahun 1915 di Padang, dan HIS Boedi Tjaniago didirikan oleh tokoh-tokoh adat, pada tahun 1922 di Padang Panjang.

Padang Panjang menjadi pusat pendidikan di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Di kota ini pula terdapat Sekolah Guru Negeri (Normaalschool) yang berdiri pada tahun 1916, dan Sekolah Guru Negeri untuk Perempuan (Meisjes Normaalschool/MNS) pada tahun 1918.

Ruang makan Asrama MNS Padang Panjang, 1930 (Sumber: KITLV)
Pendidikan luar ruang di MNS Padang Panjang, 1930 (Sumber: KITLV)

Sebagaimana telah diceritakan sebelumnya, keluarga Emak menggunakan kesempatan baru ini dengan antusias. Ayah Emak, yang kami panggil Pak Gaek, dikenal publik dengan gelarnya Datuk Putih, adalah angkatan pertama dari anak Supayang dengan pendidikan Belanda. Tak ada catatan yang tertinggal mengenai pendidikannya. Akan tetapi karena dia telah menjadi guru ketika Emak lahir, patut diduga bahwa ia melalui pendidikan Volkschool selama 3 tahun, kemudian dilanjutkan dengan Vervolgschool selama 2 tahun. Pak Gaek tampaknya salah satu lulusan Vervolgschool yang langsung mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke sekolah guru bantu (Hulp Onderwijzeres) yang lamanya dua tahun.

Pak Gaek berumur 19 atau 20 tahun ketika emak lahir, dan telah diangkat sebagai guru. Pak Gaek adalah seseorang yang serba-trampil. Ia pandai mengarang, bukunya “Pak Menoeng” diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ia pun pandai menggambar dan bertukang. Setelah pensiun sebagai guru, Pak Gaek kembali ke Supayang dan bertani. Ia juga terkenal sebagai pemburu rusa. Senapan rakitannya ia buat sendiri.

Tidak ada catatan juga mengenai pendidikan Mak Gaek. Tapi Mak Gaek pandai mengaji, dan juga bisa membaca huruf latin. Tidak jelas betul apakah Mak Gaek belajar di Volkschool seperti Pak Gaek, ataukah ia belajar membaca dan menulis huruf latin dari Pak Gaek. Ada anekdot tentang generasi Mak Gaek ini. Ketika mereka mulai belajar huruf latin mereka telah biasa membaca huruf Jawi, maka mereka membacanya dari kanan ke kiri. Oleh karena itu kata “makan”, misalnya, akan dibaca “nakam”!

Sekolah dasar Emak tampaknya dijalaninya di Volkschool Supayang, bukan di Sawahlunto tempat Pak Gaek mengajar. Kemudian setelah Pak Gaek dipindahkan ke Solok, baru emak dan Mak Gaek bergabung. Ini terjadi ketika emak berumur 10 tahun, tahun 1928. Emak pernah bercerita bahwa ia bersekolah di Schakelschool Solok, dan kemudian melanjutkan ke Meisjes Normaalschool (MNS) di Padang Panjang pada 1933.

MNS Padang Panjang adalah sekolah yang sangat kompetitif, walaupun gengsinya tidak setinggi Kweekschool di Fort de Kock (Bukittinggi) yang disebut sebagai Sekolah Raja. Para pelajar MNS Padang Panjang datang dari seluruh Sumatra, bukan hanya dari Sumatra Barat.

Selasih alias Sariamin Ismail, pengarang novel Kalau Tak Untung dan lulusan MNS Padang Panjang, menceritakan proses seleksi yang dialaminya pada tahun 1921. 300 orang dari seluruh Sumatra mengikuti ujian masuk dilakukan pada April 1921. 40 orang lulus ujian itu, namun yang diterima hanya 12 orang. Artinya cuma 4 persen dari pelamar yang berhasil. Mereka yang diterima pada 1921 masing-masing 3 orang dari Sumatra Barat, Jambi, Riau, dan Bangka-Belitung. Cadangannya 3 orang dari Aceh dan 3 orang dari Palembang. Cadangan hanya dapat diterima apabila ada yang mengundurkan diri. Pada tahun yang sama, Normaalschool untuk laki-laki hanya menerima 13 orang dari 800 pelamar!

Lama pendidikan di Normaalschool 4 tahun. Kurikulumnya terdiri dari Bahasa Belanda, sastra, aritmatika, geografi, fisika, pengetahuan alam, musik, pedagogi dan mengarang. Murid MNS tinggal di asrama dalam kompleks yang sama dengan sekolah. Kompleks sekolah itu sekarang menjadi SMA Negeri 1 Padang Panjang.

Para pelajar MNS juga mendapatkan uang saku. Emak tidak pernah bercerita berapa banyak uang saku yang ia dapat, tapi tampaknya cukup untuk membayar keperluannya selama ia bersekolah di Padang Panjang.

Emak tidak banyak bercerita mengenai pengalamannya bersekolah di Padang Panjang. Tetapi tahun 1933 ketika Emak mendaftar ke sana, tentunya proses penerimaan MNS Padang Panjang masih sekompetitif zaman Selasih. Seluruh keluarga besar sangat bangga ketika Emak berhasil diterima di MNS. Dapat dibayangkan pesta besar dilaksanakan di Rumah Gadang di Supayang merayakan kabar gembira itu.

Tampaknya Emak adalah murid yang pandai dan pemalu. Ketika penulis meminta seorang kawan penutur asli Bahasa Belanda membaca beberapa dokumen milik Emak, komentar dia yang pertama adalah, “Ibumu pasti seorang penutur bahasa Belanda yang sangat fasih”. Itu disimpulkannya dari ijazah emak yang memberi kewenangan untuk mengajar dalam Bahasa Belanda. Bukanlah hal yang mudah bagi seorang perempuan muda dari Nagari terpencil seperti Supayang mengikuti pelajaran dalam Bahasa Belanda, apalagi mengajar dalam bahasa asing tersebut. Namun tampaknya Emak bisa mengatasi semua halangan itu.

Hanya satu foto Emak yang kami miliki saat ia bersekolah di Padang Panjang. Tampaknya foto itu diambil ketika murid-murid MNS sedang beristirahat di antara pelajaran. Mereka masih memakai seragam sekolah, dan Emak hampir seperti bersembunyi di antara teman-temannya yang lain.

Foto Emak dan teman-temannya di MNS Padang Panjang, 1936.

Foto-foto MNS yang berada dalam arsip KITLV di Leiden menunjukkan sistem pendidikan di MNS yang cukup modern untuk jamannya. Pelajaran tidak saja diberikan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Foto-foto itu juga berbicara mengenai satu zaman ketika perempuan-perempuan muda seperti Emak merengkuh ilmu pengetahuan, dan apa-apa yang modern, dengan merdeka. Mereka tampak menatap ke satu zaman yang membebaskan mereka dari kungkungan budaya nan menyesakkan.

Emak lulus pada tahun 1937, dan langsung diangkat sebagai guru sekolah di Solok. Emak mengajar di Meisjes Vervolgschool (Sekolah Peralihan untuk Perempuan). Sekolah yang berbahasa pengantar bahasa Melayu di Solok. Ketika emak mulai mengajar umurnya 19 tahun. Ia harus mengajar anak-anak yang berumur 10-12 tahun. Jarak umur guru dan murid yang tidak terpaut jauh.

Kurikulum di Vervolgschool tidak jauh berbeda dengan HIS, minus Bahasa Belanda, yaitu menulis, membaca, berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, dan sejarah. Selain itu diadakan pula kelas menyanyi dan menggambar. Setiap guru bertanggungjawab atas satu kelas seperti pendidikan Sekolah Dasar sekarang. Itu berarti setiap guru harus menguasai setiap pelajaran yang ada dalam kurikulum.

Tidak ada catatan Emak mengajar di kelas berapa. Akan tetapi patut diduga bahwa guru-guru yang baru lulus sekolah guru akan diminta untuk mengajar kelas-kelas tingkat lebih rendah.

Berdasarkan catatan yang ada pada tahun 1928, gaji pertama guru lulusan Normaalschool f. 45 (Empat puluh lima Gulden), dengan kenaikan berkala sebanyak 9 kali. Gaji tertinggi lulusan Normaalschool adalah f.135. Ketika itu harga beras sepikul, atau 62,5 kilogram, adalah f. 5. Jadi gaji Emak sebagai guru cukup untuk hidup ketika itu.

Bila mendengar cerita Emak, kehidupan sosialnya cukup terbuka di Solok. Emak bermain bridge dengan teman-temannya, berwisata, dan berenang. Yang terakhir ini mungkin dilakukan di sungai, karena tak ada catatan dibuatnya kolam renang (zwembad) di Solok pada tahun-tahun itu. Saat liburan sekolah (vakantie), Emak berwisata dengan teman-temannya ke Fort de Kock, Padang, dan tempat-tempat wisata lainnya seperti Ngarai Sianok dan Lembah Anai. Pada liburan sekolah tahun 1939, Emak dengan teman-temannya berlibur ke kota Medan. Liburan yang akan mengubah jalan hidupnya.

Ketika itu Medan merupakan kota terbesar di Sumatra. Tata kota Medan dibuat dengan rapi dan dirancang sebagai kota hijau. Pohon Mahoni ditanam sepanjang jalan antara Pelabuhan Belawan dan pusat kota. Di tengah kota terdapat taman kota yang disebut sebagai De Esplanade, rindang dengan pohon Trembesi dan berfungsi sebagai paru-paru kota. Emak dan temannya mengunjungi tempat wisata yang ada di Medan: Istana Maimoon, Masjid Raya, berbelanja di Kesawan, dan mencuci mata di Het Warenhuis, toko serba ada pertama di Hindia Belanda. Mereka tentu saja tak akan melewatkan acara makan angin di Esplanade di sore hari, seraya minum koffie atau limun di kios minuman yang banyak terdapat di sana.

Hari itu, Emak dan kawan-kawannya bertemu serombongan guru-guru muda dari Batavia. Mereka juga sedang memanfaatkan vakansi sekolah dengan berjalan-jalan ke Medan. Mereka berkenalan, dan bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Mata emak terpaku pada satu pemuda yang berasal dari Minangkabau. Pemuda ini tinggi, kurus, dan berkacamata. Wajahnya mirip dengan Prins Bernhard, suami Putri Juliana dari Kerajaan Belanda. Namanya Abdul Malik, lulusan Hollandsche Inlandsche Kweekschool (HIK) di Bandung. HIK adalah Sekolah Guru Atas yang sangat bergengsi. Lulusan HIK dapat langsung mengajar di HIS. Abdul Malik juga telah mengambil kursus Hoofdacte yang memungkinkannya diangkat sebagai Kepala Sekolah. Ketika itu, Abdul Malik berumur 26 tahun dan belum menikah.

Foto Ayah, 1938.

Untuk keduanya, ini adalah cinta pada pandangan pertama. Vakansi di Medan dilanjutkan dengan korespondensi yang intens antara Solok dan Batavia. Perlu waktu dua minggu surat berjalan dari Batavia ke Solok. Begitu pula sebaliknya. Pada akhir 1939, mereka sepakat untuk menikah. Rencana pun dirancang oleh kedua merpati yang sedang jatuh cinta ini. Pada April 1940, Abdul Malik akan mengambil cuti (verlof). Tanggal pernikahan ditetapkan pada 20 April 1940.

Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 14 Juni 2020