Emak lahir dari keluarga suku Malayu. Dalam adat Minangkabau suku Malayu termasuk ke dalam lareh atau hukum adat Koto-Piliang yang diturunkan dari Datuk Katumenggungan.

Ini mungkin agak membingungkan pembaca yang bukan orang Minang, bahkan untuk orang Minang yang telah lama di perantauan seperti keluarga kami. Karena kata Melayu, atau Malayu dalam bahasa Minang, pada percakapan sehari-hari digunakan untuk merujuk pada banyak hal. Yang paling besar adalah Melayu sebagai rumpun bangsa Austronesia yang mendiami bagian barat kepulauan Indonesia, semenanjung Malaya dan kepulauan Filipina. Tan Malaka pernah membayangkan satu Indonesia Merdeka yang mencakup seluruh wilayah ini. Satu rumpun besar yang dipisahkan oleh sejarah penjajahan bangsa Belanda, Inggeris dan Spanyol.

Lebih kecil dari itu, Melayu juga merujuk kepada “Bangsa Melayu” yang tinggal di sekeliling Selat Malaka. Bangsa Melayu ini diwadahi dalam berbagai Kesultanan di Semenanjung Malaya (Johor, Selangor, Perak, Kedah, Kelantan, Trengganu, dan Negeri Sembilan), pantai timur Sumatera (Siak, Deli, Serdang dan Riau), dan pantai barat Kalimantan (Sambas, Landak, dan Pontianak). Menurut konstitusi Malaysia, salah satu syarat menjadi Melayu adalah memeluk agama Islam. Dalam pengertian ini, Melayu adalah mereka yang tinggal di wilayah itu dan beragama Islam, terlepas dari asal-usul etnis atau rasnya.

Malayu dalam tulisan ini merujuk pada salah satu suku dari 7 suku asal orang Minangkabau, yang menurut legenda, telah ada ketika nenek moyang orang Minang membangun Nagari pertama di Pariangan, Padang Panjang. Ketujuh suku asal itu adalah, Koto, Piliang, Pisang, Malayu, Dalimo Panjang, Dalimo Singkek, Piliang Laweh dan Sikumbang.Ada juga pendapat lain yang menyatakan suku Malayu adalah suku asal orang Minangkabau yang kemudian terbagi menjadi empat bagian besar:1. Malayu IV Paruik (Malayu, Kampai, Bendang, Salayan)2. Malayu V Kampuang (Kutianyia, Pitopang, Jambak, Salo, Banuampu)3. Malayu VI Niniak (Bodi, Caniago, Sumpadang, Mandailiang, Sungai Napa dan Sumagek)4. Malayu IX Induak (Koto, Piliang, Guci, Payobada, Tanjung, Sikumbang, Simabua, Sipisang, Pagacancang)

Harap dimaklumi, orang Minang memang suka berdebat, dan perbedaan pendapat itu adalah hikmah. Ada satu tempat di sini (https://mozaikminang.wordpress.com/tentang-paco-paco/) kalau para pembaca berminat mendalami dan berdebat soal ini lebih jauh.

Nama Malayu telah tercatat dalam kronik Negeri Tiongkok paling tidak sejak abad ke-7 Masehi. Menurut Prof. Slamet Mulyana, tempat Minanga, ibukota kerajaan Malayu Tua yang disebutkan dalam kronik Tiongkok itu, berada di hulu sungai Batanghari. Sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera, dan daerah aliran sungai terbesar ke dua di Indonesia, berhulu di Danau Di Atas di Kabupaten Solok, kemudian mengalir ke timur melalui Solok Selatan ke Dharmasraya, Tebo, Jambi, lantas bermuara di selat Malaka.

Pendapat lain menyatakan bahwa pusat kerajaan Malayu tua ini berada di pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau. Pendapat lain lagi mengatakan tempat itu ada di hulu sungai Kuantan. Sampai di sini, pembaca mungkin mulai paham bahwa bukan orang Minang saja yang suka berdebat, tetapi juga para ahli arkeologi dan sejarah. Konon pula para pakar ekonomi, atau politisi di masa pandemi ini.

Suku Malayu di Minangkabau disebut juga sebagai suku Rajo karena Raja Alam di Pagaruyung bersuku Malayu. Begitu pula Raja Alam di Ampek Angkek (Agam), Raja Alam di Lunang (Solok Selatan), dan Raja Alam di Air Bangis (Pasaman) semua bersuku Malayu. Tapi pembaca jangan dulu silau dengan banyaknya Raja ini. Bukankah gelar orang Minangkabau memang penuh sesak dengan Rajo, Bagindo dan Sutan (=Sultan)?

Berdasarkan legenda dalam Tambo Minangkabau, dan Kisah Cindua Mato (yang merupakan Tambo Pagaruyung), Alam Minangkabau diatur oleh Rajo Tigo Selo (Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus). Raja Alam merupakan primus inter pares (Yang Pertama di antara Yang Setara) dan tidak memiliki kekuasaan mutlak seperti doktrin Devaraja yang dikenal di Kerajaan Mataram Kuno, Sriwijaya dan Majapahit.

Mungkin Adityawarman yang besar di Majapahit pernah berusaha memperkenalkan doktrin ini. Gelar Adityawarman adalah Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa seperti tertera di Prasasti Bukit Gombak, Tanah Datar, yang ditulis pada tahun 1278 Saka, atau 1357 Masehi. Gelar itu ingin menunjukkan kebesaran Adityawarman sebagai Maharajadiraja yang meneruskan kekuasaan dinasti Mauli di Dharmasraya, Warmadewa di Sriwijaya, dan Rajendra dari Chola (Koromandel, India). Dinasti Rajendra ini pernah mengalahkan Sriwijaya, oleh karena itu perlu ditambahkan untuk memperbesar wibawa Raja Pagaruyung.

Prasasti Bukit Gombak (Sumber: KITLV)

Namun tampaknya upaya untuk membangun tata kelola dengan kekuasaan Raja yang mutlak tak pernah berhasil diterapkan di Minangkabau. Orang Minang, sampai sekarang, terlalu merdeka untuk diatur oleh satu ideologi atau kekuasaan yang mutlak dan terpusat.

Rajo Tigo Selo dibantu oleh sebuah Kabinet dengan sebutan Baso Ampek Balai yang terdiri dari Tuan Titah di Nagari Sungai Tarab, Tuan Makhudum di Sumanik, Tuan Indomo di Saruaso, dan Tuan Khadi di Padang Gantiang. Di bawah Baso Ampek Balai masih ada pula jabatan Langgam Nan Tujuah. Langgam Nan Tujuah merupakan tujuh jabatan terkait penegakkan hukum, pertahanan dan intelijen. Setiap jabatan ini juga dijabat oleh penghulu yang berbeda dan tinggal di Nagari yang berbeda. Yang paling terkenal dari anggota Langgam nan Tujuah ini adalah Harimau Campo dari Nagari Batipuh yang bertugas sebagai Panglima Perang.

Pengaturan ini menunjukkan tata-kelola pemerintahan yang sangat terdesentralisasikan. Setiap Nagari adalah satu Republik yang merdeka. Rajo nan Tigo Selo tampaknya lebih merupakan mekanisme resolusi konflik apabila ada perselisihan di antara Nagari.Setiap Nagari pun sepertinya membangun aliansi sendiri berdasarkan asal nenek-moyang, ataupun kepentingan ekonomi. Nagari Supayang, misalnya, merupakan bagian dari konfederasi Kubuang Tigo Baleh, aliansi 13 Nagari yang ada di Kabupaten Solok.

Sebetulnya nama asal dari wilayah ini adalah Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan daerah rantau orang-orang dari Luhak Tanah Datar. Baru setelah Kontrolir Belanda ditempatkan di Nagari Solok, Solok menjadi nama wilayah pemerintahan.

Kembali ke kisah Emak, laras Koto-Pilliang tempat suku Malayu kami berinduk memang lebih aristokratis dibandingkan dengan suku-suku yang masuk ke dalam laras Bodi-Caniago. Prinsip tata-kelola laras Koto-Piliang adalah “Aie manitiak dari ateh, tabasuik dari bawah. Batanggo naiek, bajanjang turun”, yang menekankan perlunya kepemimpinan dari atas dan hirarki. Sedangkan tata-kelola laras Bodi-Caniago dipandu oleh prinsip “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan” yang lebih mementingkan musyawarah untuk mufakat.

Perbedaan prinsip ini juga tercermin pada interior Rumah Gadang dan Balai Nagari. Tempat penobatan penghulu dan bersandingnya pengantin dalam Rumah Gadang Koto-Piliang posisinyanya ditinggikan. Begitu pula Balai Nagari Koto-Piliang yang meninggikan tempat duduk para penghulu. Sedangkan di Balai Nagari Bodi-Caniago setiap orang berdiri sama tinggi, dan duduk sama rendahnya.

Para Penghulu Nagari Supayang di muka Balai Nagari, 1878 (Sumber: KITLV)

Ada satu pendapat yang mengatakan orang Minangkabau merupakan amalgam dari kelompok-kelompok migran yang datang dari Asia. Ada dua kelompok yang dominan yaitu mereka yang datang dari Asia Selatan dan beragama Hindu, serta mereka yang datang dari Asia Timur, mungkin dari Tiongkok Selatan melalui Kerajaan Champa, sekarang wilayahnya berada di Vietnam Selatan, dan beragama Budha Mahayana. Hal ini masuk akal, karena terlihat betul pengaruh budaya India dan Tiongkok dalam artefak budaya Minangkabau. Misalnya dalam penyebutan nama tempat, Koto yang berasal dari bahasa Sansakerta katta artinya benteng, atau dalam ornamen baju pengantin yang terlihat betul pengaruh budaya Tiongkoknya. Koto-Piliang adalah mereka yang berasal dari Asia Selatan dan penduduk asli Sumatera yang mau mengadopsi kepercayaan dan tata-kelola yang dipengaruhi oleh agama Hindu. Sedangkan Bodi-Caniago adalah mereka yang berasal dari Asia Timur dan kelompok-kelompok lain yang mengadopsi tata-kelola masyarakat berdasarkan agama Budha.

Karena Emak adalah anak perempuan pertama dari satu-satunya anak perempuan di rumah gadang, maka ia sangat dimanja oleh para pamannya. Menurut cerita Emak, ketika kecil dia jarang sekali menginjak tanah karena selalu digendong oleh para pamannya yang jumlahnya 9 orang. Jarak umur Emak dengan dua adiknya pun cukup jauh, sehingga Emak sempat lama menjadi anak tunggal yang dimanjakan seluruh keluarga.

Setiap keluarga Minang adalah bagian dari satu paruik (secara harfiah artinya “perut”) yang berasal dari satu nenek, dan tinggal dalam satu Rumah Gadang. Setiap paruik merupakan bagian dari Jurai yang tinggal dalam Rumah Gadang berbeda atau Nagari yang berdekatan, akan tetapi berasal dari satu nenek moyang. Jurai adalah bagian dari Suku yang tersebar di berbagai Nagari dan Luhak.

Supayang dan Rumah Gadang Suku Malayu mendapat tempat dalam sejarah karena jasa Prof. P.J. Veth yang pernah tinggal di sana selama dua minggu pada tahun 1878. Foto-foto mereka dapat ditemukan dalam koleksi KITLV di Universitas Leiden di Belanda.

Suku Malayu termasuk suku Minangkabau yang terbesar populasinya. Mereka ada di zona inti Minangkabau (Luhak nan Tigo), maupun di Rantau darek dan rantau pasisia. Oleh karena itu suku Malayu terpecah ke dalam banyak sub-suku. Beberapa yang tercatat adalah Malayu Panai, Malayu Gadang, Malayu Gantiang, Malayu Badarah Putiah, Malayu Bungo, Malayu Gandang Perak, Malayu Kumbuak Harum. Dalam satu percakapan Emak pernah mengatakan bahwa keluarga kami berasal dari sub-suku Malayu Korong Gadang.

Mandangut gelar Datuk Khatib Rajo, Wali Nagari Supayang dari Suku Malayu, 1878
(Sumber: KITLV)

Rumah Gadang keluarga Emak dibangun pada tahun 1854 ketika Datuk Khatib Manjalani menjadi Tuanku Lareh. Rumah itu dibangun dari satu pohon besar yang diambil dari Rimbo Aia Busuak. Menurut cerita tutur di Nagari Supayang, besarnya pangkal pohon itu dapat digunakan untuk menjemur 150 sukat padi, atau kurang lebih 12 meter persegi. Lokasi rimba ini masih harus dikonfirmasikan kembali. Pencarian dengan mesin pencari menemukan Aia Busuak di Nagari Saniangbaka yang berada di tepi Danau Singkarak. Jarak Saniangbaka ke Supayang 50 kilometer. Kabarnya diperlukan waktu tujuh tahun untuk membawa batang pohon itu dari Rimbo Aia Busuak ke Supayang. Nenek Datuak Tuanku Lareh itu ternyata sangat terkesan dengan kapal-kapal Belanda yang berlabuh di Teluk Bayur. Oleh karena itu, ia membuat anjuang, bagian paling atas dari Rumah Gadang dan biasanya dihuni oleh perempuan yang baru menikah, seperti anjungan kapal Belanda.

Selama bertahun-tahun Rumah Gadang keluarga kami menjadi sensasi di Alam Minangkabau karena bentuk anjuangnya, dan dikenal sebagai Rumah Gadang Sabatang Pohon. Sayang sekali pada tahun 1962 Rumah Gadang itu habis terbakar.

Rumah Gadang Suku Malayu yang terkenal sebagai Rumah Gadang Sebatang Pohon, 1878 (Sumber: KITLV)

Tidak ada catatan bagaimana Emak menghabiskan masa kecilnya. Ketika Emak lahir, ayahnya yang kami panggil Pak Gaek, telah menjadi guru dan mengajar di luar Supayang. Catatan yang kami temukan hanya mengabarkan kepindahan Pak Gaek dari Sawahlunto ke Koto Anau pada tahun 1928. Tidak ada catatan di mana Pak Gaek mengajar ketika Emak lahir. Tampaknya Emak dan nenek, yang kami panggil Mak Gaek, tidak ikut ke tempat Pak Gaek mengajar. Patut diduga bahwa long-distance relationship (LDR) yang menjadi ciri khas keluarga kami saat ini telah dimulai sejak beberapa generasi sebelumnya.

Rumah Gadang Suku Malayu di Supayang. Digamber berdasarkan ingatan Pak Gaek setelah terbakar pada tahun 1962. Gonjongnya telah bertambah sejak foto tahun 1887. Hal itu menunjukkan bertambahnya keluarga yang tinggal di Rumah Gadang.

Namun Pak Gaek memang tak punya banyak pilihan. Sebagai laki-laki Minangkabau, ia tak pernah punya rumah. Ketika kecil ia tinggal di rumah ibunya. Setelah akil balig, ia akan menghabiskan waktunya di Surau. Kemudian setelah menikah, ia akan tinggal di rumah isterinya. Nama Pak Gaek dan angku Imam Bijak, kakek Emak, tak ada dalam ranji keluarga kami. Oleh karena itu, almarhum Saafroedin Bahar, mantan anggota Komisi Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), pernah mempermasalahkan soal ini. Mereka yang berayahkan orang Minangkabau dan beribu dari suku lain akan terhapus dari silsilah keluarga. Almarhum Pak Saaf pernah menulis bahwa “separuh orang Minang dihilangkan hak asasinya!”. Ini juga yang dikeluhkan oleh cucu-cucu Emak. Semua anak laki-laki Emak menikah dengan suku Sunda. Sebagian besar cucu Emak tak tercantum dalam ranji keluarga.

Ranji keluarga kami

Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 11 Juni 2020