Saya pernah berjanji tak akan menulis obituary lagi. Sejak Februari berturut-turut beberapa teman baik mendahului kembali ke alam baka. Menulis obituary menjadi sesuatu yang menyedihkan dan menghabiskan banyak enerji batin. Namun pagi ini semua hambatan itu harus diatasi Hubungan saya dengan bung Daniel terlalu istimewa untuk tidak dikenang dan dibagikan.

Saya mendengar nama Daniel Dhakidae untuk pertama kalinya ketika menjadi mahasiswa baru di Universitas Padjadjaran tahun 1974. Bung Daniel adalah bagian dari jaringan aktifis mahasiswa yang aktif dalam berbagai forum diskusi di kampus2 di Jawa: Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Sebagian besar dari tokoh group diskusi ini berada di penjara karena peristiwa Malari ketika saya masuk sebagai anggota Group Diskusi Unpad. Bung Daniel dari group diskusi UGM dan Peter Nelwan , mentor saya di Group Diskusi Unpad, tidak masuk penjara. Tapi mereka berdua, dan banyak teman2 lain, ketika itu cukup sibuk mengurusi teman2 yang berada di penjara. Seingat saya semua ketua Dewan Mahasiswa ketika itu berada di penjara, ditambah beberapa dosen yang dianggap auctor intellectualis seperti Syahrir, Dorojatun, dan lain-lain.

Dalam suasana aktifisme anti orde baru itu saya mengenal nama bung Daniel. Beberapa teman mengatakan dia termasuk kelompok “sosialis”. Peter dan saya sering bergurau mengenai ini. Kalau kamu tidak sosialis pada umur 20an, kamu tak punya hati. Kalau kau masih sosialis di umur 40an, kau tak punya kepala. Banyak orang yang mengaku “sosialis” ketika itu tanpa pernah memahami apa itu sosialisme. Tentu saja bung Daniel bukan orang yang suka mengaku-aku. Agak sulit memasukkan dia ke dalam satu label tertentu. Mungkin intelektual merdeka lebih mewakili pemikirannya, karena ia selalu menjaga jarak dengan kekuasaan.

Saya baru betul2 bertemu dengan bung Daniel dalam satu diskusi di Jakarta pada tahun 1978 atau 1979. Ketika itu BKKBN mengadakan diskusi mengenai peran pemuda dalam mengatasi masalah kependudukan. Kami berada dalam satu panel. Daniel sudah bekerja pada majalah Prisma, dan saya diundang sebagai ketua Perhimpunan Mahasiswa untuk Studi Kependudukan. Kami sempat berbincang lama mengenai gerakan mahasiswa selesai diskusi itu.

Kami bertemu kembali di Ithaca pada 1984. Bung Daniel dan saya adalah mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Cornell. Daniel mahasiswa departemen politik dan pemerintahan, dan saya mahasiswa departemen komunikasi. Kami sama2 mengambil program studi Asia Tenggara sebagai minor kami, karena itu kami sempat bertemu di beberapa mata kuliah, dan acara2 yang dibuat oleh program asia tenggara. Kalau tak salah ada dua kuliah yang sama2 kami ambil, kuliah Ben Anderson mengenai political anthropology, dan kuliah Taufik Abdullah mengenai Islam di Asia Tenggara. Ketika itu pak Taufik menjadi visiting Professor di Cornell.

Selama.di Cornell bung Daniel menjadi teaching assistant di Departemen Politik. Oleh karena itu dia cukup sibuk. Akan tetapi rumahnya selalu terbuka untuk anggota CIA lainnya. CIA adalah Cornell Indonesian Association. Tentu saja kami, mahasiswa2 kere di Cornell, biasanya datang ketika waktu makan malam, agar dapat mencicipi masakan Lilly, isterinya. Keluarga Daniel juga support system yang penting untuk Reni yang kemudian datang menyusul pada tahun 1985. Reni dan Lilly sama2 besar di Bandung, dan keluarga Lilly di jalan Natuna, Bandung, ada ikatan pertemanan dengan kakak2 saya.

Daniel dan saya meneruskan persahabatan kami setelah sama2 pulang dari Ithaca. Daniel menyelesaikan PhD dan bekerja di Litbang harian Kompas, sementara saya masih kerja serabutan ke sana ke mari dan berusaha menyelesaikan thesis yang tidak selesai-selesai.

Setelah reformasi kami bertemu di Kemitraan untuk pembaruan tata-pemerintahan di Indonesia. Daniel adalah salah satu pendiri Kemitraan. Kami juga sempat bertemu di Transparency International Indonesia tahun 2006-09 ketika saya menjadi Sekretaris Jenderal, dan Daniel menjadi anggota Badan Pengurus organisasi anti korupsi itu. Daniel adalah pendiri Yayasan Tifa, dan menjadi anggota Dewan Pembina Yayasan ketika saya menjadi ketua Dewan Pegurusnya pada tahun 2014-18.

Kerja sama kami yang paling intensif tentu saja dalam upaya untuk menerjemahkan buku Ben Anderson Imagined Communities pada tahun 2000-01. Bung Daniel menulis kata pengantar yang bagus sekali, dan meletakkan pemikiran nasionalisme Ben dalam konteks Indonesia.

Selamat jalan, bung! Beristirahatlah dalam kedamaian. Salam untuk mbak Lilly dari kami. 🙏