Mengenang 5 tahun meninggalnya Prabowo Djamal Ali, idola mahasiswa UNPAD generasiku.

Bowo, sebagaimana kami memanggilnya, memiliki semua yang bisa membuatnya jadi idola: ganteng, cerdas, articulate dan supel dalam pergaulan. Aku pertama kenal dia dalam Group Diskusi UNPAD, kawah candradimuka aktifis UNPAD tahun 74 dan 78. Bowo lebih tua 6 atau 7 tahun dariku, dan kuliah di Fakultas Ekonomi.Percakapan pertama dengan Bowo adalah mengenai peran intelektual dalam perubahan sosial. Bowo menekankan kewajiban moral mahasiswa yang mendapat privilese untuk memperjuangkan keadilan bagi massa rakyat. Gagasan noblesse oblige yang mungkin sudah tidak dikenal lagi di jaman ini.Diskusi itu tinggal lama dalam pikiranku.

Selanjutnya aku mulai belajar ekonomi politik dan gagasan-gagasan Marxisme dari Bowo. Agak aneh memang, Bowo seperti sedang melakukan bunuh diri kelas. Keluarganya adalah kelompok elite Indonesia yang makmur setelah kemerdekaan.

Ketika teman-teman dekatnya bergabung dengan Golongan Karya, Bowo tidak tertarik. Dia melanjutkan studi ekonominya ke Oxford University dan kemudian bekerja dengan UN-ESCAP, organisasi regional yang melakukan penelitian sosial dan ekonomi, di Bangkok. Kami bertemu kembali ketika aku bergabung dengan United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR, diplesetkan sebagai UNSMIR – Universitas Satish Mishra), satu fasilitas UN yang dibuat untuk membantu Indonesia tidak kembali terjerembab dalam lubang krisis ekonomi-politik di tahun 1998. Prabowo memimpin kluster ekonomi di tempat itu, sedangkan aku diminta untuk.memimpin kluster sosial. Di tempat itupun ada berbagai pakar di bidangnya: Jenderal Agus Wijoyo (reformasi tentara), Adrianus Mooy (keuangan), Nasir Tamara (politik), dan banyak lagi teman2 muda yang kemudian akan menjadi terkenal di bidangnya masing-masing.

Banyak gagasan dari UNSFIR sekarang tidak terpakai lagi. Tampaknya pemerintahan sekarang tidak mau belajar dari sejarah. Bahkan lintasan perjalanannya seperti mengulangi lagi lintasan Orde Baru yang bermuara pada krisis 1998.

Prabowo adalah seorang yang sangat religius dengan caranya. Dia tak pernah putus puasa senin-kamis, dan saat terakhir mulai mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan eksistensial mengenai hidup, kematian dan kehidupan setelah mati.Kami.masih sempat bertemu beberapa kali di rumahnya yang asri di Jakarta Selatan. Beberapa bulan sebelum ajal menjemput kondisi fisik Bowo memang menurun. Tapi semangat hidupnya tak pernah berkurang.

You will be missed, Wo!