Pada peringatan Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia tahun ini, saya ingin mengenang beberapa perempuan hebat yang sangat berjasa pada awal perjalanan karir dan kehidupan saya selanjutnya.
Yang pertama adalah mbak Yayuk (Dra. Sri Rahayu SU), dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (dahulu Fakultas Publisistik) Universitas Padjadjaran. Saya sudah terlibat sebagai asisten dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh mbak Yayuk dan uni Evie ketika masih mahasiswa. Setelah lulus, saya hanya punya satu tujuan, menjadi dosen di Universitas di luar Jawa. Ketika itu ada program rekrutmen untuk menjadi dosen di luar pulau Jawa yang diilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Saya telah melalui semua test yang ada, dan lulus. Akan tetapi tidak pernah dipanggil untuk mulai mengajar. Pilihan pertama saya adalah Universitas Hasanuddin di Makassar. Pilihan kedua, Universitas Andalas di Padang.
Tahun itu, tahun 1981, adalah awal-awal Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) di masa Pemerintahan Soeharto. Sebagai aktifis gerakan mahasiswa 1978, saya mungkin dianggap terlalu berbahaya untuk mengajar di Universitas Negeri. Salah seorang teman yang dosen UNPAD menyarankan agar saya menemui team screening di Departemen P&K. Mereka adalah mantan aktifis mahasiswa yang kalau sekarang mungkin disebut sebagai staff khusus Menteri. Saya kenal salah satu dari mereka, tapi saya menolak untuk merendahkan diri. Saya katakan kepada penyampai pesan, “Leher gue kurang lentur. Nggak bisa ngangguk2!”. Satu sikap yang di kemudian hari sering menyulitkan saya.
Kembali kepada mbak Yayuk, ketika itu mbak Yayuk sedang menempuh pendidikan S-2 di Universitas Gajah Mada. Selain mengajar di UNPAD, ia juga mengajar di NHI (National Hotel Institute) di Jalan Setiabudi, Bandung. Mbak Yayuk meminta saya mengajar mata kuliah Human Relations menggantikannya selama satu semester di NHI.
Sebagai mahasiswa jurusan jurnalistik, saya agak keteteran juga mengajar mata kuliah yang tidak pernah saya ambil dalam rencana kuliah saya karena tidak wajib. Saya mulai dari nol, belajar lagi, dan menyiapkan bahan kuliah dengan mengacu kepada mata kuliah yang sama di Fakultas Publisistik. Pengalaman pertama mengajar yang sangat berharga.
Perempuan ke dua yang perlu disebutkan di sini adalah Tante Zoe (Dr. Zulaika Rachman Masjhoer). Tante Zoe adalah dokter keluarga kami. Alasan utama mengapa kami selalu pergi ke tempat prakteknya di jalan Anggrek bila sakit, karena tante Zoe tidak pernah meminta bayaran. Pengurangan biaya kesehatan yang sangat diperlukan oleh keluarga guru dengan 10 anak seperti keluarga kami. Oom Do , suami tante Zoe yang tentara, adalah keluarga jauh ayah saya. Mungkin satu waktu saya akan menulis mengenai Oom Do yang lulus dari Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda sebelum Perang Dunia ke dua pecah di Eropa, kemudian menjadi perwira KL (tentara Kerajaan Belanda). Selama perang kemerdekaan, oom Do bergabung dengan Divisi Siliwangi. Oom Do jadi saksi dari pihak keluarga saya ketika saya menikah.
Pada tahun 1981, tante Zoe adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jakarta. Ketika mahasiswa saya aktif di Perhimpunan Mahasiswa untuk Studi Kependudukan (SA) yang merupakan “anak” PKBI. Kami semua anggota SA adalah juga relawan PKBI, dan sering terlibat dalam kegiatan2 penyuluhan pendidikan keluarga berencana bersama relawan PKBI lainnya. Ketika mengetahui saya masih “pengangguran” di Bandung, tante Zoe menawarkan pekerjaan sebagai pekerja pengganti (temps) Wilarsa Budiharga yang sedang sekolah ke Inggeris.
Mengetahui keengganan saya untuk bekerja di Jakarta, tante Zoe membujuk dengan jaminan “Hanya 11 bulan saja, sampai Wilarsa pulang!”.Sebelas bulan yang kemudian menjadi 8 tahun. Untuk PKBI mempekerjakan saya adalah pilihan yang gampang dan murah. Saya sudah mengenal PKBI dan memahami pekerjaannya, karena saya sudah sering terlibat dalam proyek2 PKBI sebelumnya. Sebagai tenaga paruh waktu, saya masih mengajar di NHI setiap hari Jum’at, saya bersedia dibayar secukupnya. Cukup untuk kost di Jakarta, dan tiket suburban Jakarta-Bandung setiap akhir minggu.
Tiga tahun pertama bekerja di PKBI, saya punya 2 boss yang keduanya perempuan hebat di bidangnya. Satu tahun pertama saya magang di team program yang manajernya adalah ibu Retno. Tempat kami di belakang di Jalan Hang Jebat III/f3 Kebayoran Baru. Team program selain bu Retno dan saya, ada 2 program officer: mbak Widya (Widya Farid, kemudian Widya Sjamsudin) yang cantik sekali (Widiawati lewat!), dan bung Hono (Honorius da Costa almarhum) anak Raja Paga yang sangat jenaka. Kami dibantu oleh Zainul yang mengurus masalah administerasi dan keuangan. Team kami sangat solid. Ketika itu portfolio program PKBI juga cukup beragam: pelayanan klinik, pelibatan pria dalam KB, peningkatan ekonomi keluarga, dan pendidikan KB untuk remaja, dan lain2. Spesialisasi saya pada awal karir ini adalah menghadiri rapat dan seminar! Kalau ada undangan, ibu Retno sering menugaskan saya pergi karena teman2 yang lain, mbak Widya dan bung Hono, biasanya tidak berminat.
Dari bu Retno saya belajar project management. Bagaimana membuat perencanaan yang baik, bagaimana memonitor pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain, bagaimana menulis laporan yang baik dan tepat waktu. Selama satu tahun itu, saya mengembangkan satu ketrampilan lain yang sangat berharga di kemudian hari. Setiap pulang rapat atau seminar, saya diminta bu Retno menuliskan ringkasan pokok2 bahasan dan kesimpulannya. Kalau sekarang mungkin disebut Back to Office Report (BTOR). Ketrampilan ini kemudian membuat saya selalu diberi tugas membuat summary dari rapat2 PKBI yang sering gaduh seperti rapat Partai Politik. Bung Hono selalu memanggil saya sebagai “Mr. Summing Up” karena tugas2 itu.
Ketika Wilarsa kembali dari Inggeris, dan saya ternyata masih butuh pekerjaan, saya ditugaskan membantu mbak Tari (Dra. Sri Lestari Yuwono) di Pusat Pelatihan PKBI. Pusat Pelatihan PKBI pada awal2 Program Keluarga Berencana merupakan Center of Excellence tempat semua pengelola Program Nasional KB dilatih. Ketika kemudian BKKBN mendirikan Balai Pendidikan dan Pelatihan di daerah, PKBI menyerahkan peran pelatihan kepada BKKBN, akan tetapi masih menyelenggarakan Training of Trainers (TOT) untuk para pelatih BKKBN.
Pada akhir tahun 1982 ketika saya bergabung dengan Pusdiklat PKBI, selain pelatihan internal, PKBI masih mengelola pelatihan untuk petugas KB Bangladesh sebuah proyek 5 tahun yang sumber pendanaannya kalau tidak salah dari UNFPA.Team Pusdiklat ketika itu baru saja kehilangan beberapa trainer yang perempuan. Ada desas desus mengenai mengapa mereka pergi, tapi ada kekosongan yang harus segera diisi, dan mbak Tari sejak beberapa lama.berusaha membujuk saya untuk bergabung ketika “kontrak” saya dengan program berakhir.
Saya bergabung dengan team Pusdiklat di tengah2 pelatihan untuk petugas KB Bangladesh. Beberapa di antara mereka adalah dokter yang sangat elitis, dan.minta diperlakukan sangat istimewa. Akan tetapi sebagian besar adalah para-medik dan petugas lapangan KB. Pelatihan ini mengkombinasikan antara kelas dan lapangan. Pada dua minggu pertama mereka berada di Jakarta untuk mendapatkan gambaran mengenai program KB di Indonesia. Minggu ketiga mereka berada di lapangan untuk mengamati pelaksanaan program KB, dan di minggu keempat mereka menyusun rencana tindak lanjut mengenai apa2 yang akan mereka lakukan menerapkan pembelajaran yang mereka dapat di Indonesia. Tahun 1983 itu kerja lapangannya di Jawa Timur, saya mendampingi mereka selama.kegiatan lapangan. Satu pembelajaran yang sangat berharga. Kalau anda pernah berada dalam satu kelas, atau dalam satu diskusi dengan teman2 dari Asia Selatan pasti mengerti maksud saya.
Mbak Tari bukan saja seorang trainer dan manajer yang mumpuni, akan tetapi juga seseorang yang sangat memperhatikan orang lain. Dari mbak Tari saya belajar compassion dan selflessness. Dia selalu menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan dirinya. Dia sangat keras pada dirinya sendiri. Oleh karena anggota teamnya dianggap sebagai bagian dari dirinya, diapun sangat menuntut (demanding) kepada anggota teamnya. Pada bagian inilah banyak yang salah memahami mbak Tari. Bila dia belum keras menuntut kesempurnaan dari anda, maka anda belum jadi bagian dari teamnya. Saya pikir ketika itu hanya mas Rachmat Hasanuddin (orang Mandar yang sangat Jawa), dan saya (orang Minang yang sangat Sunda) yang dapat memahami mbak Tari seperti itu. Oleh karenanya kami get along well cukup lama.
Saya selalu berterima kasih kepada mbak Tari. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang saya sebut guru, dan jejaknya akan terus membekas dalam setiap pekerjaan yang saya lakukan.
Mbak Tari berpulang beberapa tahun yang lalu, begitu pula Tante Zu telah meninggal terlebih dahulu.
Tulisan ini pernah dimuat di sini pada tanggal 22 Desember 2019.