Rahman Tolleng berpulang kemarin, dan saya merasa kehilangan.

Tapi mengapa? Saya tak pernah betul-betul dekat, atau jadi bagian dari inner circlenya. Beberapa teman menduga kami ada hubungan keluarga, karena kadang terdengar kami bicara mengenai keluarga kami. Tapi tidak, kami tidak berhubungan keluarga.

Saya merasa Indonesia kehilangan seorang tokoh. Anak-anak muda kehilangan role model dan sumber informasi sejarah. Karena itu, mungkin, saya merasa ada yang hilang setelah ia pergi.

Ketika saya mulai aktif di Group Diskusi UNPAD pada awal tahun 1974, Rahman Tolleng berada di penjara. Begitu pula sebagian besar aktifis Group Diskusi UI, UNPAD dan UGM. Para mentor saya ketika itu, atau kader, atau pengagum Rahman Tolleng. Saya mulai mengenal paham demokrasi dan aktifisme melalui mereka.

Ketika Rahman Tolleng keluar dari penjara, dan banyak aktifis mahasiswa Bandung berkunjung ke Jalan Tamblong Dalam 1, kediamannya. Saya tak pernah turut. Saya tak ingat persis apa alasannya sekarang. Mungkin karena latar belakang keluarga saya yang simpatisan Masyumi menyisakan sedikit syak wasangka kepada “orang2 PSI”. Mungkin karena saya adalah aktifis yang malas untuk berdiskusi soal-soal politik yang terlalu berat. Mungkin juga karena ketika itu saya dalam masa yang meragukan semua ajaran para nabi. Rahman Tolleng dianggap nabi atau manusia setengah dewa oleh banyak aktifis mahasiswa pada jaman itu.

Saya baru bertemu secara langsung dengan bung Rahman setelah kepulangan saya dari Amerika Serikat. Mungkin pada akhir dekade 80an. Saya selalu memanggil dia bung Rahman, tidak pernah “Boss” seperti yang lainnya.

Sebelum pertemuan itu, entah mengapa, keluarga kami selalu bertautan. Saya adalah teman satu SMA dengan Dodo, adik iparnya. Ketika mahasiswa, saya teman main Nina, adik iparnya yang lain. Dan kemudian sekali, saya rekan kerja Gaga, anaknya.

Ada satu rumah di Jalan Cipaganti 109 yang mengeratkan tautan itu. Reni, gadis yang saya taksir ketika itu, tinggal di sana. Reni dibesarkan oleh ua Apip tokoh GWS Jawa Barat. Ua Apip Bersama ceu Tati, isteri bung Rahman, aktif dalam pembinaan koperasi perempuan di Bandung, Garut, dan Tasikmalaya.

Dalam rangka pendekatan itu, saya tetiba tertarik pada masalah koperasi, pemberdayaan ekonomi perempuan, keadilan, dan tentu saja sosialisme. Mungkin tidak heroik. Tapi pengenalan saya mengenai issue-issue besar yang kemudian menjadi fokus pekerjaan saya dalam 30 tahun terakhir dimulai dengan hal-hal yang sederhana seperti itu.

Maaf kalau pembaca kecewa karena mengharapkan hagiografi. Seolah ada satu keyakinan yang dibangun melalui diskusi politik yang berat sampai tengah malam, dengan kepulan asap rokok, dan bercangkir-cangkir kopi. Bukan begitu. Dalam kasus saya, motivasi yang paling besar adalah mengantarkan perempuan yang saya cintai menyampaikan pesan atau kiriman barang kepada kelompok-kelompok perempuan kampung. Kemudian duduk di pinggiran mendengarkan mereka berdiskusi sampai selesai.

Ua Apip pernah mengajak saya untuk mengikuti kursus politik yang diberikan oleh beberapa tokoh PSI di rumahnya. Tapi saya selalu berhasil menghindar. Saya merasa bagai elang yang perlu terbang sendirian, bukan bebek yang berjalan berombongan. Maaf ua!

Sesudah tahun 1998 ketika saya mulai agak sering berada di Jakarta. Saya bertemu beberapa kali dengan bung Rahman. Bisa dihitung dengan jari tangan. Pertemuan itu selalu menyenangkan. Apakah berbicara mengenai situasi politik terakhir, ataupun mengenai keluarga, bung Rahman selalu well informed. Dia tahu persis apa yang sedang saya kerjakan, apa permasalahan keluarga yang saya khawatirkan, dan dengan gayanya yang tak pernah menggurui membantu saya memecahkan persoalan. Kami jarang sekali bertemu, tapi pada setiap pertemuan saya selalu merasa mendapat manfaat. Oleh karena itu, mungkin, saya merasa kehilangan.

Pertemuan kami yang terakhir terjadi di rumah Buyung. Saya dan beberapa teman berusaha meyakinkan keluarga Sutan Syahrir untuk membuka akses publik pada arsip, dan barang-barang pribadi milik keluarga. Untuk itu kami memerlukan bung Rahman untuk jadi juru bicara. Dalam perjalanan pulang dia mengatakan perlunya satu museum untuk menyimpan barang-barang peninggalan Sutan Syahrir, Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Bung Rahman meminta saya berbicara dengan Anies, menjajaki kemungkinan rumah di Jalan Cokroaminoto dibeli kembali oleh Pemerintah dan dijadikan museum. Tugas yang belum sempat saya laksanakan sampai dia meninggal kemarin.

Selamat jalan, Bung! Kami akan teruskan tumpukan batumu!

(Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 30 Januari 2019).