Pagi ini mendapat kabar duka. Pak Tjip, Soetjipto Wirosardjono, meninggal dunia pada usia 81 tahun. Pak Tjip adalah salah seorang yang turut membentuk cara saya memandang dunia.

Ketika saya mulai bekerja di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 1981, Pak Tjip ketua PKBI. Secara bergurau Roy Tjiong pernah mengatakan, Pak Tjip diwakafkan untuk PKBI oleh Ali Sadikin, ketika itu Gubernur Jakarta, dari pekerjaan utamanya sebagai Kepala Kantor Statistik DKI Jakarta. Pak Tjip kemudian menjadi Deputi Kepala Biro Pusat Statistik (BPS) sehingga pensiunnya.

Pak Tjip adalah seorang yang lengkap. Ia memiliki latar belakang santri, akan tetapi pandai mendalang. Beberapa kali Pak Tjip muncul sebagai dalang di berbagai acara publik. Seorang yang sangat kuat dalam metoda kuantitatif, ia sarjana statistik, akan tetapi juga seorang penulis yang memikat. Selama bertahun-tahun ia adalah penulis kolom di Majalah Tempo. Yang lebih penting lagi, dia adalah seorang guru, yang bisa diGUGU dan diTIRU.

Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa saya adalah muridnya, atau dalam gurauan kami selama ini, kami adalah santrinya. Tadi pagi ketika menengok jenazahnya di Rumah Sakit Islam Jakarta, saya bertemu dengan santri-santrinya yang lain, dari BPS, dari LP3ES, dari PKBI dan dari berbagai tempat Pak Tjip pernah berkarya. Dia adalah kyai dan guru yang dihormati dan diteladani.

Saya punya hubungan khusus dengan Pak Tjip di awal karir saya. Pak Tjip sering meminta saya mempersiapkan pidatonya untuk acara-acara PKBI. Saya mungkin dianggap salah satu staf muda yang memahami konsep Keluarga Bertanggung jawab yang merupakan “ideologi” PKBI.

Saya dan Pak Tjip dalam salah satu diskusi Studi Masa Depan PKBI, 1989.

Konsep keluarga bertanggung jawab dengan berbagai dimensinya: ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan masa depan; merupakan kritik Pak Tjip terhadap fragmentasi sosial yang diakibatkan oleh pembangunanisme (developmentalism) yang terjadi di pemerintahan Orde Baru. Pak Tjip melihat keluarga merupakan basis utama mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itulah keluarga perlu dikelola jumlah dan kualitasnya. Setiap orang tua punya tanggung jawab membuat setiap anaknya menjadi manusia yang lengkap, yaitu manusia yang sehat, terdidik, punya kepedulian sosial yang tinggi, dan selalu berorientasi ke masa depan.

Pak Tjip juga aktif dalam komunitas Ornop Indonesia. Ia adalah anggota Presidium Wahana Lingkungan Hidup periode pertama (1980-1983). Ia juga aktif dalam pendirian International NGOs Forum for IGGI (INGI) yang kemudian menjadi International NGOs Forum for Indonesian Development (INFID). INGI/INFID adalah ruang yang tersedia bagi aktifis Ornop Indonesia mengkritik rejim Orde Baru pada puncak kekuasaannya.

Satu waktu mungkin perlu dituliskan, bagaimana mungkin birokrat eselon tinggi seperti Pak Tjip bisa terlibat dalam perlawanan terhadap rezim Suharto.

Selamat jalan, Pak Tjip. Sampai jumpa lagi di alam yang lain. Innalillahi wa innaillaihi rojiun!

(Tulisan ini pernah dimuat di Facebook, 16 Mei 2019).